Friday, September 14, 2012

Sekilas dulu dan kini


Satu sore yang cukup terik di hari minggu. Aku dan kawanku Nyit-nyit, duduk di teras rumahku sambil menikmati segelas es jeruk buatan ibu. Umm…segarnya!
            Tiba-tiba adikku Tika yang berumur tujuh tahun, datang tergopoh-gopoh menghampiri kami. “Kak…kakak, ajarin Tika maen engklek dong…” pintanya setengah merengek.
Aku dan Nyit-nyit kontan saja langsung saling pandang. Heran. “Memang ade mau apa minta diajari maen engklek segala?” tanyaku sambil membawanya kepangkuan.
Tika memainkan ujung rok bajunya resah, “Abis Tika diejekin temen-temen gara-gara ngga tau caranya maen engklek…” jelasnya terisak.
“memang yang ngejek Tika temen-temen dimana?” tanya Nyit-nyit yang jadi ikut penasaran.
“Temen-temen disitu…” Tika menunjuk kearah lapangan belakangan rumah kami. “ katanya Tika bodoh, ngga bisa maen engklek. Padahal Tika kan ngga pernah maen yang kayak gitu di sekolah…” ucapnya sambil kembali memilin-milin ujung roknya.
Aku dan Nyit-nyit hanya tersenyum menanggapi jawaban polos Tika. Tika memang sudah disekolahkan Ibu sejak usia tiga tahun. Keputusan itu diambil karena Ibu adalah seorang wanita karier yang hanya memiliki sedikit waktu dirumah. Agar Tika tidak merasa kesepian tinggal dirumah, maka Ibu pun memutuskan untuk menyekolahkannya sedini mungkin.
“Sini kakak ajarin…” ucapku. Lalu aku pun menggambar kotak-kotak persegi di tanah menggunakan sebatang lidi, lalu menjelaskan cara bermain engklek pada Tika.
Saat Tika dan Nyit-nyit asyik bermain engklek, sebuah pikiran melintas dibenakku. Betapa teknologi telah mencuri semua permainan anak-anak yang selalu dimainkan olehku zaman dulu. Anak-anak kota zaman sekarang kurang mengenal permainan-permainan anak desa seperti engklek, petak umpet, gatrik, rebonan, galah, congklak, dan masih banyak permainan lainnya. Keberadaan semua permainan itu telah dicuri oleh Play Station, Game Box, Ding-Dong, dan permainan-permainan berbau teknologi lainnya.
Tidak menampik bahwa aku pun menyukai segala permainan modern tersebut, tetapi teknologi memang telah memberikan banyak kemajuan yang terkadang tidak selalu membawa dampak yang baik. Tengok saja adik lelakiku, Doni. Dia lebih senang berkutat didepan PS 2-nya setelah pulang sekolah daripada bermain layang-layang diluar. Padahal menurutku, bermain diluar membuat tubuh lebih banyak bergerak dan membuat kita menghirup lebih banyak udara segar yang menjernihkan pikiran. Memainkan permainan seperti Galah, petak umpet, atau rebonan menurutku jauh lebih baik ketimbang bermain PS. Dalam permainan-permainan itu, kita dapat menumbuhkan sikap saling bekerja sama dan solidaritas yang tinggi, dan yang paling penting, membuat badan lebih sehat, karena kita terpaksa harus berlari mengejar musuh, menyelamatkan kawan kita yang dikejar-kejar, atau kita sendiri yang harus berlari menghindari musuh.
Aku jadi ingat. Pernah suatu hari, aku berangkat ke kampus dengan menumpang mobil jemputan adikku, Doni. Saat aku sedang melamun memperhatikan jalan raya, tanpa sengaja aku memperhatikan percakapan dua anak perempuan kawan adikku.
Gadis yang berbando merah, yang belakangan kuketahui bernama Sita, sedang memainkan ponselnya yang berwarna shocking pink. “ eh, Winda!” serunya memanggil seorang anak perempuan lain yang memakai bando berwarna biru.
“ apa?” sahut si Winda.
“ kamu punya pulsa nggak? Aku minta dong! Soalnya aku belum sempet bales sms-nya Roni kemaren malem…” pinta Sita pada kawannya itu.
Winda hanya mengangguk sambil memberikan ponselnya yang tak kalah canggih dengan milik Sita. Lalu mereka berdua membicarakan si Roni itu dengan semangat.
Aku hanya tersenyum melihat dua anak perempuan yang masih bau kencur itu membahas cinta monyet mereka. Setelah melihat itu aku merenung. Betapa dunia telah jauh berubah. Zaman aku SD dulu, jangankan ponsel, minta dibelikan tamagochi saja, aku harus merengek-rengek pada Ibu satu bulan penuh. Lagipula, dulu waktu di dalam mobil jemputan, paling-paling pertanyaan yang aku lontarkan adalah ‘ kamu liat film doraemon ngga kemaren? Aku ngga nih, soalnya diajak pergi sama Ibu!’ seperti itu. Tidak ada istilah minta pulsa untuk menghubungi cowok. Tidak ada istilah pacaran jaman aku SD dulu.
“ kak! Kakak…”
Suara Tika membuyarkan lamunanku. Sekarang giliranku melempar kojo milikku untuk menentukan ke kotak mana aku harus melangkah.
                                                            *          *          *
Suatu hari aku pergi ke sebuah warung internet (Warnet) dekat rumahku. Aku memang jarang mengunjungi Warnet itu karena aku lebih suka mengerjakan tugas kuliahku di kampus. Tetapi hari itu, aku terpaksa harus pergi ke Warnet sesegera mungkin karena tugas yang minggu lalu diberikan dosen, tapi belum sempat kukerjakan, ternyata harus dikumpulkan esok hari. Setelah mengambil nomor di tempat penjaga Warnet, aku berjalan menuju booth-ku.
Sebelum aku tiba di booth-ku, tiba-tiba aku melihat segerombol anak kecil berusia sekitar 8-9 tahunan sedang cekikik-cekikikan sambil menatap layar monitor disalah satu booth yang ada disana. Penasaran, aku pun memutuskan untuk menghampiri mereka. Namun, Ya Tuhan! Aku sangat terkejut sekali saat melihat apa yang bocah-bocah ingusan itu lakukan. Mereka sedang melihat gambar-gambar porno di internet.
Dengan perasaan kesal, aku segera menyuruh anak-anak kecil itu pergi dari sana. Aku segera berjalan menghampiri abang penjaga Warnet itu dan memarahinya. Orang-orang yang ada disana langsung menoleh kearahku yang sedang memarah-marahi si Abang penjaga Warnet. Tapi aku tidak peduli. Pendidikan anak-anak penerus generasi bangsa adalah tanggung jawab kita semua sebagai orang-orang yang lebih dulu terlahir ke dunia. Apa jadinya generasi mendatang jikalau bocah-bocah kecil seperti itu sudah disuguhkan tontonan gambar-gambar yang tidak bermoral.
Setelah itu aku langsung beranjak dari sana. Aku tidak mempedulikan tatapan orang-orang disana. Aku juga tidak peduli bila mereka menganggapku sok ikut campur urusan orang lain atau apalah. Yang penting aku sudah melakukan sesuatu yang aku yakin benar.
                                                            *          *          *
Dosenku saat itu sedang membahas tentang betapa filterisasi itu dibutuhkan saat menghadapi era globalisasi sekarang ini. Menurutnya, Segala hal asing yang masuk secara tak terkendali ke bumi Indonesia ini perlu disaring terlebih dahulu. Tidak selamanya budaya asing berpengaruh baik pada manusia-manusia Indonesia yang notabene hidup di belahan bumi yang berbeda.
Aku menyimak segala penjelasan yang dilontarkannya dengan baik. Aku sangat menyetujui pendapatnya tentang bangsa Indonesia yang menganut budaya timur ini cenderung mengamini segala hal apapun yang masuk ke dalam kebudayaannya tanpa memperhatikan baik dan buruknya budaya tersebut. Kurangnya pemahaman akan pentingnya filterisasi budaya memang menjadi faktor utama buruknya pengaruh yang ditimbulkan budaya asing bagi bangsa Indonesia. Pada perkembangannya, budaya asing yang masuk malah disalahgunakan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab.
Tiba-tiba salah seorang teman sekelasku mengacungkan tangannya, “ apa Bapak dapat memberikan contoh penyalahgunaan tersebut, Pak?” tanyanya.
“ pertanyaan bagus!” ucap Si Dosen.  Lalu dia pun memberikan sebuah contoh yang bagus, yaitu penyalahgunaan minuman keras.
Di negeri barat sana yang memiliki empat musim, tentu mengalami musim dingin yang suhunya mencapai minus nol derajat. Untuk itu, mereka membutuhkan sesuatu untuk menjaga tubuh mereka agar tetap hangat di suhu sedingin itu. Minuman seperti whisky dan vodka dapat membantu mereka karena menimbulkan efek hangat bagi tubuh peminumnya.
Namun, Indonesia terletak tepat dibawah garis khatulistiwa. Itu artinya, Indonesia hanya memiliki dua musim, yaitu musim kemarau dan musim penghujan. Minuman keras seperti whisky dan vodka tidak diperlukan di negara kita. Sebab, bila masih tetap dikonsumsi, akan menimbulkan efek yang berbeda. Mabuk. Namun, mungkin para peminum minuman keras itu salah mengartikan budaya asing tersebut. Mereka beranggapan bahwa dengan meminum minuman tersebut, mereka akan dianggap gaul oleh orang-orang sekitarnya karena mampu menyamai orang bule.
Menurutku, pikiran-pikiran seperti itu masih mengakar kuat dalam benak orang Indonesia karena pada jaman penjajahan dulu, kita telah didoktrin bahwa orang kulit putih memiliki derajat yang lebih tinggi dibanding orang yang memiliki kulit berwarna. Doktrin yang berbau rasisme ini berlaku hampir diseluruh belahan dunia. Bahkan dulu, di benua Afrika sana, orang putih memiliki kekuasaan dominan di negeri yang mayoritas warganya berkulit gelap.
Suara ponsel Si Dosen mengakhiri kuliah hari itu, karena waktunya memang telah habis.
                                                            *          *          *
Saat melangkah keluar kelas menuju kantin, tiba-tiba tanganku ditarik keras sekali oleh Nyit-nyit.
“ Phan, ikut gue cepetan!” ucapnya tergesa-gesa sambil membawaku ke suatu tempat.
“ mu kemana sih, Nyit? Gue kan laper…”
“ udah ikut aja dulu!” sahutnya singkat.
Aku masih merasa sangat penasaran, tapi aku tahan mulutku sebisa mungkin untuk tidak bertanya apa-apa sampai kami tiba di tempat yang kami tuju.
Nyit-nyit ternyata membawaku ke sebuah kelas di Gedung C kampus kami, dan ternyata di kelas itu pun telah ada teman-temanku yang lain. Mereka berenam sedang menanti kedatanganku.
“ ada apa sih ini?” tanyaku heran.
“ kita mau ngebahas sesuatu…” sahut Dian diiringi anggukan kepala yang lainnya.
Aku jadi merasa semakin penasaran. “ iya apa?”
Kali ini Een yang berbicara, “ tadi, gue sama Qinan kan minjem hapenya si Arya. Terus, gue ngeliat ada foto toketnya Santi sama foto pantatnya Wiwi di hapenya dia!”
what?!” tanyaku setengah tak percaya. Aku lebih merasakan kecewa daripada terkejut. Tega-teganya kawan sekelas kami berbuat begitu.
Sedikit penjelasan, Santi adalah kawan kami yang lain, tidak termasuk dalam kami berdelapan.
“ iya,” sekarang giliran Qinan yang menjelaskan. “ gue hafal banget kaosnya Santi itu. Jadi gambarnya diambil dari jauh terus di-zoom gitu Phan…” terangnya, membuatku semakin merasa shock. “ terus kalo Wiwi…” dia melirik ke arah Wiwi yang duduk diam di sudut kelas, “ gue hafal tas polkadotnya. Si Arya motret pantatnya Wiwi…”
Aku memandang Wiwi yang terlihat sangat terpukul. Ini sudah termasuk tindakan kriminal. Pelecehan seksual. Hal ini tidak dapat dibiarkan. Saat itu juga aku langsung pergi mencari Arya. Teman-temanku mengekor dibelakang.
Kami menemukan Arya sedang tertawa-tawa di kantin. Langsung saja kuseret dia keluar kantin, lalu kami berdelapan pun mengerubunginya. Setelah menyita ponselnya, kami lalu menginterogasi dia, tetapi dia tidak mau mengakui kalau itu adalah perbuatannya, walaupun jelas-jelas foto-foto itu ada didalam ponselnya.
Kami tidak mau membuat kegaduhan di tempat umum dengan memaksa dia untuk mengakui perbuatannya, karena itu, kami pun memutuskan untuk menghapus foto-foto itu, mengembalikan ponselnya, lalu segera beranjak dari sana dengan perasaan dongkol.
                                                            *          *          *
Dalam bus kota saat perjalanan pulang ke rumah setelah kejadian itu, aku berpikir. Betapa kemajuan teknologi telah membawa banyak sekali perubahan pada dunia ini. Sayangnya, tidak hanya membawa perubahan yang baik, tetapi juga membawa dampak buruk.
Aku merasa semakin kecewa pada orang-orang yang menyalahgunakan perkembangan teknologi. Mengapa ada segelintir orang-orang tertentu yang tidak menggunakan teknologi untuk tujuan yang baik? Padahal, teknologi telah membuka mata kita untuk melihat dunia yang semakin hari semakin berkembang, lebih jauh. Teknologi telah membawa kita mengelilingi dunia hanya dalam waktu beberapa menit saja. Teknologi juga telah membantu kita melintasi jarak, ruang, dan waktu.
Mungkin memang harus begitulah adanya, efek dari segala sesuatu yang terjadi di dunia ini. Segalanya memiliki dua sisi. Ada siang, ada malam. Kutub utara dan kutub selatan. Positif dan negatif. Segala sesuatu yang terjadi pun memiliki dua dampak, yaitu dampak baik dan dampak buruk. Semuanya bergantung pada siapa, apa, dan bagaimana cara penggunaannya.
Aku jadi kembali teringat pada adik-adikku, Doni dan Tika. Mereka mungkin adalah korban dari kemajuan teknologi yang tak terkendali. Bahkan mungkin, tanpa kusadari, aku juga sudah menjadi korban dari pesatnya kemajuan dunia teknologi.
Lamunanku dibuyarkan oleh seorang pengamen cilik berusia sekitar delapan tahun yang meminta uang padaku. Tubuhnya kotor sekali. Telinganya ber-piercing, dan tanpa sengaja kulihat ada sebatang rokok terselip disana. Dia menatap aneh kearahku. Menelitiku dari atas sampai bawah.
Tatapannya lalu berhenti di celana jeans kumal plus sobek-sobek milikku. “ Rock N Roll, Neng!” celetuknya.
Ya Tuhan!
                                                            *          *          *

Keterangan     
engklek            : permainan daerah. Cara memainkannya adalah dengan melompat-lompat dalam kotak-kotak yang sudah digambat di tanah.
Tamagochi       : sejenis mainan digital dimana kita memelihara hewan virtual yang ada didalamnya.
Toket               : buah dada
Hape                : ponsel
Piercing           : tindikkan

Hutang yang tak (sempat) terpenuhi



Janji wajib untuk ditepati. Apapun halangan dan rintangan yang harus dihadapi, janji tetap harus dipenuhi. Karena janji adalah hutang, dan pemenuhan akan janji merupakan sebuah tanggung jawab yang akan ditentukan hisabnya. Sebelum semua terlampau terlambat.
                                                                        ***
            “Pelacur!!!” teriak Bu Satrio kepada perempuan bertubuh molek yang terduduk mematung di sudut ruangan seluas 4x5 meter itu. Tubuhnya hanya tertutupi sehelai kain tipis yang biasa digunakan sebagai pembungkus kasur. Tak ada sepatah kata pun yang keluar dari bibir bergincu itu sebagai pembelaan.
Bu Satrio lantas menyeret tubuhnya ke sisi lain ruangan dengan gemas, memaki dengan kata-kata yang menusuk hati si perempuan amat dalam. Di sudut lain, Pak Satrio hanya dapat menyaksikan adegan-adegan penuh kekerasan tersebut tanpa melakukan suatu apapun. Seolah beliau tengah menyaksikan drama televisi yang menyuguhkan kisah tragedi memilukan tanpa akhir.
Tangan kiri Bu Satrio menggenggam erat sejumput rambut si perempuan dengan amat ketat. Tak diijinkannya si perempuan beranjak dari tempat itu sebelum dia selesai memuaskan nafsu amarahnya, “Jauh-jauh dari suami saya, perempuan jalang! Mau apa kamu mengganggu dia lagi? Kamu tidak kasihan melihat anak-anak kami di rumah, heh?”, dihempaskannya tubuh tak berdaya itu sekuat tenaga ke dinding ruangan yang keras dan dingin.
“Sudah, Bu…”
“Diam kamu!”, jerit Bu Satrio tanpa tertahankan, “jangan pernah sekalipun membela pelacur itu dihadapanku!” Pak Satrio mengkerut ditengah ranjang. Sama telanjangnya dengan si perempuan.
Dengan segenap sisa tenaga yang telah terkuras habis oleh belenggu tak kasat mata di ruangan itu, si perempuan beringsut menjauh dari pertengkaran suami-istri tersebut sambil menggenggam dua potong pakaian dan tas Gucci made in Gedebage miliknya.
                                                            ***
Arloji Anne Klein seharga dua puluh lima ribu rupiah yang melingkar dipergelangan tangannya, menunjukkan pukul satu dini hari saat ia tiba di sebuah tempat yang ia sebut rumah. Ranti, anak semata wayangnya, terbangun saat mendengar suara pintu dibuka. Dengan sukacita, Ranti menyambut kedatangan sang ibu yang diharapnya pulang dengan membawa uang untuk membayar biaya masuk kolam renang esok hari. Kali besok, Ranti harus mengikuti tes berenang, yang selama ini tak pernah ia hadiri, untuk memenuhi nilai UAS olahraganya. Dua bulan lagi, Ranti akan lulus SMP.
“Maaf Nak, Ibu hari ini tidak bawa uang,” ucap sang Ibu sambil mencoba menyunggingkan senyuman termanis yang sanggup ia berikan malam itu, berusaha menghibur si anak meskipun tubuhnya sendiri berdenyut-denyut ngilu akibat hantaman gagang sapu bertubi-tubi oleh istri salah satu pelanggannya.
Senyum diwajah kuyu Ranti pun lenyap seketika. Pupus sudah harapan mendapat nilai bagus untuk ujian olahraganya, padahal ia sangat menyukai mata pelajaran itu. Terbayang kembali janji sang ibu tadi siang untuk memberinya uang sebesar dua puluh ribu rupiah, ongkos masuk kolam renang. Dengan langkah gontai, ia kembali meneruskan tidurnya diatas dipan beralaskan kasur setebal 2 cm.
Satu-satunya kursi di rumah itu yang terbuat dari kayu asal-paku, kini berpenghuni. Kepulan asap rokok kretek memenuhi ruangan serba guna itu. Satu ruangan yang berfungsi sebagai ruang tamu, ruang keluarga, ruang makan, sekaligus dapur.
Tatapannya tak lagi tampak hidup. Dihisapnya kembali sebatang rokok pemberian kawan seprofesinya tadi siang itu, perlahan. Otaknya dipenuhi memori kisah-kisah pemukulan yang kerap kali menimpa perempuan-perempuan yang memilih untuk bekerja seperti dirinya.
Pada hisapan terakhir rokok itu, seketika dia merasa ada lubang hitam menhisapnya masuk. Ia jadi gelap mata. Seolah tak ada jalan keluar lain yang dapat dipilihnya. Tatapannya tertuju pada sebilah pisau dapur yang teronggok di atas meja. Pikirannya melayang pada janji-janji yang ingin sekali dipenuhinya pada sang buah hati. Janji membelikannya tas sekolah yang baru untuk menggantikan miliknya yang sudah tidak bisa ditutup karena retsletingnya macet, janji untuk mengajaknya jalan-jalan ke Taman Lalu Lintas, janji membelikan bando berwarna biru, warna favoritnya, dan segudang janji-janji lainnya yang hingga saat ini belum terpenuhi.
Uang. Lagi-lagi itu menjadi masalah yang membelitnya selama tiga puluh empat tahun kehidupannya. Terlahir dari rahim seorang buruh cuci yang hamil karena diperkosa mantan majikannya sendiri, tidaklah menjadi pilihan yang benar-benar ia inginkan. Dibesarkan dilingkungan rumah-rumah tempat berbuat mesum, membuat pilhan hidupnya semakin sempit. Semakin mendekatkannya pada ketidakwarasan dunia yang penuh materi. Wajahnya yang lumayan, tubuhnya yang padat berisi, membuat para lelaki hidung belang menggodanya dengan pundit-pundi rupiah yang hanya memberikan kebahagiaan sesaat.
Masa muda dihabiskannya dengan berfoya-foya. Membalaskan dendam masa kecil yang penuh kesengsaraan. Hingga akhirnya pada usia dua puluh tahun, seorang dari ratusan pria yang pernah mengencaninya, mengisi ruang dalam rahimnya dengan Ranti. Tak kuasa untuk membunuh si jabang bayi, ia pun memutuskan untuk memeliharanya. Berharap sang bayi kelak dapat membawanya keluar dari lubang nista yang selama ini ia tinggali.
Diraihnya pisau tersebut. Setelah dipandangi selama sepuluh menit, ia pun membulatkan tekad. Dihampirinya Ranti yang sedang tertidur lelap, lalu diguncangnya perlahan.
“Ranti…” panggilnya penuh sayang.
Ranti pun menggeliat lalu menoleh ke arah ibunya. Mengucek-ngucek mata untuk mengusir sedikit kantuk, “ada apa, bu?”
“Ibu pergi dulu sebentar. Cari uang buat bayar renang kamu. Tapi ibu mau kamu janji satu hal…”
Senyuman tipis seketika tercipta diwajah kecil Ranti. Dengan penuh harapan, ia pun bangkit untuk mendengarkan ibunya dengan lebih jelas.
“Ibu pengen kamu diam dirumah sampai ibu pulang, ngerti?” Ranti pun mengangguk-angguk dengan semangat.
“Ya sudah, sekarang kamu tidur lagi sana! Ingat ya, jangan kemana-mana sampai ibu kembali!”

Sebuah mobil sedan buatan jepang tahun 1980-an berhenti dihadapannya. Setelah tercapai kesepakatan harga antar kedua belah pihak, ia dan pelanggan barunya itu pun menuju suatu tempat yang cukup sepi. Si perempuan tidak keberatan untuk melayaninya didalam mobil saja.
Namun sebelum si lelaki sempat memuaskan birahinya, si perempuan mengeluarkan pisau dapur yang sedari tadi tersimpan dalam tas Gucci-nya. Dihujamkannya besi tipis itu ke dada si lelaki berkali-kali, hingga si lelaki tidak menunjukan tanda kehidupan. Dengan kepanikan yang luar biasa, ia mencari-cari dompet si lelaki.dibalik celana yang tersampir di jok depan mobil tersebut. Dibukanya dompet itu, lalu ia pun tersenyum puas melihat lembaran-lembaran biru yang terselip didalamnya. Kini ia bisa membelikan Ranti tas baru, bando berwarna biru, dan mengajaknya ke Taman Lalu Lintas. Satu hal terpenting dalam benaknya saat itu, Ranti akhirnya bisa mengikuti ujian renang disekolahnya siang nanti.
Dengan semangat yang membuncah didada, si perempuan segera kembali ke peraduannya dengan langkah cepat. Tak dipedulikannya lecet yang diakibatkan sepatu murahan itu ditumitnya. Senyuman Ranti membayang dimatanya sejelas mentari yang hampir terbangun dari tidurnya selama kurang lebih sepuluh jam.
Tiba-tiba langkahnya terhenti saat melihat kepulan asap hitam yang menggumpal dihadapannya. Kekhawatiran menyergap dirinya diantara sosok-sosok panik yang berlarian menghambur kepadanya dari segala arah. Pikirannya hanya tertuju pada satu hal. Ranti.
Insting keibuan memaksa ia mempercepat langkah kakinya menuju sumber kepulan asap itu. Tiga rumah di kompleks pemukiman padat dan kumuh itu telah habis dilalap api. Saat ia berusaha menerobos kerumunan orang yang sedang berusaha memadamkan geliat-geliat merah-kuning yang kian menjalar itu, seseorang tiba-tiba menarik-narik lengannya cukup keras, hingga berhasil membuatnya berhenti sejenak dan menoleh.
“Bu Janji, Bu Janji! Rumah kita, Bu…” seru Bu Yanti, tetangga sebelah rumahnya, dengan gusar.
“Kenapa Bu? Ranti mana?” sahutnya panik sambil menoleh kanan-kiri. Mencari sosok kecil buah hatinya. 
“Rumah kita sudah habis terbakar, Bu… Tidak ada lagi yang tersisa…” sahut Bu Yanti diiringi derai air mata. Ia pun hanya sempat menyelamatkan dua anaknya yang masih kecil-kecil tanpa harta benda apapun selain baju yang melekat dibadan.
“Ranti?” Tanya Bu Janji setengah berbisik, karena tak sanggup lagi mendengar hal terburuk yang ingin diketahuinya.
Bu Yanti pun menggeleng lemah. Ranti telah menepati janjinya.

                                    *                      *                      *
                                                                                    Bandung, 29/01/09 23:59

Kisah Judul Lagu


Demi  waktu.

“ maafkan aku Si! Aku sudah menduakan cintamu. Berat rasanya hatiku buat ninggalin dia. Tapi, aku juga nggak bisa ninggalin kamu…”
Sisi terdiam. Airmatanya menetes perlahan.
“ kalau saja waktu itu aku nggak berjumpa dirinya…tapi aku nggak boleh kayak gini. Aku harus bisa ngambil sebuah keputusan supaya nggak nyakitin kita semua. Aku, kamu, dan dia…”
Desir angin menerpa keheningan antara mereka berdua.
“ sebaiknya…kita putus aja ya, Si”.
Sisi sudah tak sanggup lagi berkata-kata.
“ selamat tinggal Sisi…” ucapnya seraya mengecup kening Sisi lembut.
Sisi hanya menatap kosong kepergian Andre. Kepergian Andre dari sana dan dari hatinya.   
                                                *          *          *
Akhiri ini dengan indah.

“ halo,”
“ ya, halo…”
“ Ndre…aku nggak bisa…” isak Sisi diseberang sana.
“ kamu harus bisa, Si! Ketika selamanya pun harus berakhir, aku ingin mengakhiri semua ini dengan indah…kamu harus merelakan setiap kepingan waktu dan kenangan tentang kita berdua. Aku yakin kamu pasti akan menemukan orang yang jauh lebih baik dari aku…”.
klik. Telepon ditutup.
                                                *          *          *
Aku patut membenci dia.

Srek…srek…srek.
Sobekan kertas-kertas surat bertebaran di lantai kamar Sisi.
“ Mungkin aku memang patut membenci dia karena mencintaimu Ndre…jujur… aku nggak rela dia curi hatimu…”
Srek…srek…srek.
“ kenapa?!!! Aku yang lebih dulu jadi kekasihmu. Ndre… Dan dengan sunggguh mencintaimu! Aku nggak ingin dia menggantikan aku, karena aku tahu bahwa aku lebih baik dari dia…”
Suara tangis Sisi pecah, memenuhi seluruh penjuru kamarnya. Rasa sakit yang dia derita sungguh sangat perih. Andre, pria yang sudah dua tahun ini menjadi kekasihnya, pergi begitu saja dan mencampakkannya.
                                                *          *          *
Akhir  cerita  cinta.

Dear diary,
Sandiwarakah selama ini aku bersamanya? Setelah sekian lama kami tlah bersama.
Inikah akhir cerita cinta, yang selalu aku banggakan didepan teman-temanku?
Kini harus aku lewati sepi hariku tanpa dirimu lagi. Kamu benar. Aku harus berjuang untuk melupakanmu. Please Ndre… bantu aku untuk membencimu, karena aku terlalu mencintaimu…
                                                *          *          *
Bukan  diriku.

Hari ke-28 setelah kejadian itu.
Senja itu, cuaca mendung. Sisi terdiam didepan jendela kamarnya.  Menatap setiap kilatan petir yang menyambar langit Bandung.
“ hhh…walau aku masih mencintaimu, aku harus meninggalkanmu dan aku harus melupakanmu. Meski, hatiku menyayangimu dan nurani membutuhkanmu, aku tetap harus merelakanmu…thanks Ndre, buat segalanya…”
Sisi pun lalu memutuskan untuk menemui sang dewa impian yang akan  membawanya ke negeri awan.
                                                *          *          *
Ternyata.

Keesokkan paginya. Di sekolah.
“ selamat pagi Sisi…” sapa Gilang ramah, seperti biasanya.
“ Pagi juga Gilang…” sahut Sisi sambil tersenyum manis.
“ Si, kamu sudah nggak apa-apa kan?” tanyanya lagi.
“ he-eh,” Sisi menggerak-gerakkan kedua bola matanya jenaka sambil membetulkan letak kuncirannya.
“ kamu yakin?”
“ yup! Absolutely. Ternyata tanpa dia, langit masih biru kok!Ternyata tanpa dia, bunga-bunga juga nggak layu. Ternyata, dunia nggak berhenti berputar walau dia bukan milikku lagi! Betul nggak Gil?”
“ ini Sisi yang aku kenal…” seru Gilang seraya merangkul sahabatnya itu. “ kita ke kantin yuk!”
“ yuk!!!” sahut Sisi bersemangat.
Putus bukan berarti akhir dari segalanya. Putus merupakan awal dimana kita menjalani kisah cinta yang baru bersama orang lain yang jauh lebih baik dari kekasih kita sebelumnya. Jadi, jangan menyerah untuk mencoba menemukan cinta sejati. Semangat!
                                                *          *          *
Inginku bukan hanya jadi temanmu.

Keindahan malam menyelimuti kamar Gilang. Namun, itu semua tidak dapat mengobati kegundahan hatinya yang kian menjadi.
“ inginku bukan hanya jadi temanmu atau sekedar sahabatmu saja Si! Yang Cuma rajin dengar ceritamu! Aku ingin kamu mencintaiku. Sadarkah kamu, sering kamu kesalkan aku, bila kamu masih saja menyebut namanya…”
Buk! Meja belajar dihadapan Gilang bergetar. Kedua tangannya mengepal.
Biarkan aku untuk jadi kekasihmu, Si! Karena aku nggak percaya ungkapan cinta itu tak harus memiliki. Itu hanya sebuah ungkapan untuk mengobati orang-orang yang patah hati. Aku akan membuatmu menyukaiku Sisi. Bersiaplah menunggu kedatanganku dihatimu!” tekad Gilang sepenuh hati.
                                                *          *          *
 Dari hati.

Sisi asyik sekali bercerita dengan teman-temannya sampai dia tidak menyadari ada seseorang yang sedang menatapnya sambil tersenyum.
Andai kamu tahu Si…bila menjadi aku, sejuta rasa dihati. Lama  tlah  kupendam, tapi akan kucoba mengatakan…bahwa kuingin kamu menjadi milikku, entah bagaimana caranya. Lihatlah mataku untuk memintamu… Kuingin jalani bersamamu. Coba dengan sepenuh hati. Kuingin jujur apa adanya…dari hatiku Si…
“ hwoi!!! Ngelamun aja Gil…” seru Isan membuyarkan lamunan Gilang.
“ sialan! Kaget  tau!” Gilang mengusap-usap pundaknya yang baru saja  dipukul Isan.
“ habis… kamu ngelamun aja sih… eh, emang kamu ngelamunin apa sih?” Isan merapatkan tubuhnya sambil tersenyum jahil. “ ngelonjor  ya?”
“ hah? Apaan tuh?”
“ Ngelamun jorok! Hehehe…”
Pletuk!
“ adaw! Sakit  tau!” Isan mengusap kepalanya yang dijitak Gilang.
“ mangkanya jangan ngomong yang aneh-aneh… rasain tuh!” ucap Gilang sambil beranjak pergi meninggalkan kelas.
“ eh, Gil! Tungguin aku…”   
                                                *          *          *
Laguku.

Tililit…tililit…tililit.  Cetrek.
“ halo…”
“ halo, Sisi ya…”
“ eh, Gilang, ada apa?”
“ Si, kamu lagi sibuk nggak?”
“ nggak. Emang kenapa?”
“ hm… aku pengen kamu dengerin sesuatu…”
“ denger apa?”
“ bentar ya, aku ambil gitar dulu…”
Sisi menunggu selama lima belas detik.
“ kamu masih disitu Si?”
“ he-eh…”
“ bagus. Dengerin ya… Mungkinkah kau tahu, rasa cinta yang kini membara… yang masih tersimpan, dalam lubuk jiwa. Inginku nyatakan lewat kata yang mesra untukmu. Namun, ku tak kuasa untuk melakukannya… Mungkin hanya lewat lagu ini akan kunyatakan rasa, cintaku padamu, rinduku padamu, tak bertepi… Mungkin hanya sebuah lagu ini yang selalu akan kunyanyikan, sebagai tanda betapa aku inginkan kamu…”
Suara denting gitar berhenti.
“ gimana Si?”
“ itu lagunya Ungu ya?”
“ iya. Trus gimana?”
“ bagus,”  komentar Sisi singkat.
“ gitu aja?”  tanya Gilang kecewa.
“ hm…iya. Gilang kan dari dulu emang sudah jago maen gitarnya…”
“ oh, gitu ya. Ya sudah deh, Si, sorry dah ngeganggu…” ucap Gilang dengan nada kecewa. Dia hampir saja mau menutup teleponnya.
“ eh, eh, Gilang… jangan marah… Sisi kan Cuma bercanda…” seru Sisi  sambil tertawa renyah.
Gilang masih terdiam diseberang sana.
“ kita  ketemu di tempat biasa jam 4 sore ya! Bye Gilang…”
klik. Telepon pun ditutup. Tapi, Gilang masih terdiam meskipun nada tut-tut-tut sudah lama terdengar ditelinganya.
Beberapa detik kemudian, sebuah senyuman lebar menghiasi wajahnya.
                                                *          *          *
Tanpa lagu.

Singkat kata, Sisi dan Gilang sudah jadian. Tanggal 6 bulan 6 di tahun keenam 2000 masehi.
Kehidupan Sisi yang sempat kelabu karena dicampakkan oleh Andre,  segera berubah drastis. Gilang begitu menyayanginya sepenuh hati, begitu juga dengan Sisi. Meskipun mereka memiliki banyak perbedaan satu sama lain, tapi justru hal itulah yang membuat mereka saling melengkapi.
Pacaran bukanlah proses untuk  mencari kesamaan, melainkan proses dimana kita dan pasangan kita dituntut untuk dapat mengatasi segala perbedaan. Manusia tidak diciptakan sempurna. Untuk itulah kita dipaksa untuk dapat saling mengerti, saling memahami, dan saling menjaga perasaan satu sama lain.
                                                *          *          *
Anugerah Terindah Yang Pernah Kumiliki.

selamat ulang tahun, kami ucapkan… selamat panjang umur kita kan  doakan… selamat sejahtera, sehat sentosa… selamat panjang umur dan bahagia… Happy Birthday Sisi!!!” sorak seluruh teman-teman Sisi.
Lalu Sisi pun meniup lilin ulang tahunnya yang berjumlah delapan belas batang. Kue tart dipotong. Potongan pertama diserahkan Sisi kepada kedua orang tuanya, potongan selanjutnya Sisi suapkan kepada sang kekasih tercinta, Gilang. Kontan saja semua orang diruangan itu menyoraki mereka.
Sisi pun sibuk memotong-motong kue serta membagikannya kepada seluruh orang yang hadir di pestanya.
Sementara itu, Gilang mengawasi Sisi dari tempat duduknya. Seulas senyuman tak henti menghiasi wajahnya yang berbinar bahagia.
Melihat tawamu… mendengar senandungmu… terlihat jelas dimataku,  warna-warna indahmu… menatap langkahmu… meratapi kisah hidupmu… terlihat jelas bahwa hatimu… Anugerah terindah yang pernah kumiliki…   
                                                *          *          *

Thursday, September 13, 2012

Embun di hati Nes


Aku  hanya  tersenyum  hambar  menatap  wajah  Dwi  yang  menyiratkan  kebahagiaan  itu, tetapi  tidak  dapat  kurasakan.  Terbersit  rasa  kecewa  yang  sangat  dalam  dihatiku. Meskipun, aku  yang  mengatur  pertemuan  mereka  hari  ini.

Setelah  Dwi  mohon  pamit,  aku  berlari  menuju  kamarku. Kuseka  pipi  yang  basah  dengan punggung  tanganku. Kuhela  nafas  berat.  Kupandang  langit  cerah  sore  itu.  Sama, seperti  saat  aku  bertemu  dengan  pria  itu.

Aris.  Cowo  supel  yang  sangat  menyenangkan.  Aku  bertemu  dengannya  saat  pemotretan  untuk  sebuah  majalah  ibukota. Teman-temanku  begitu  mengagumi  sosok  fotografer  muda  yang  humoris  itu.  Mereka  selalu  berusaha  menarik  perhatiannya.  Sedangkan, aku  sama  sekali  tidak  tergugah  untuk  ikut  berinteraksi  dengan  makhluk  ganteng  yang,  menurutku,  aneh  itu.
Mungkin  karena  aku  tidak  ikut-ikutan  mengaguminya, pria  itu  jadi  mendekatiku. Awalnya,  dia  berbasa-basi  menanyakan  ini-itu  padaku.  Aku  ladeni  semua  pertanyaan  itu  dengan  jawaban  sekenanya.   Malas.   Namun, lama  kelamaan  kami  menjadi  akrab.

Aku  merebahkan  tubuhku  sambil  kembali  mengingat  kejadian  tadi  siang.
“  Halo  Nesta,  gue  kerumah  lo  ya…  bentar  lagi  gue  nyampe!  Sekarang  gue  lagi  dijalan.  Oya,  lo  dapet  salam  tuh  dari  Aris.  Dah  dulu  ya,”
Klik.  Telepon  ditutup.
Aku  terdiam  beberapa  saat.  Meyakinkan  diri  bahwa  aku  telah  siap  menerima  semuanya.  Menerima  kepergian  Aris  dari  hatiku.  Dan  menerima  bahwa  sahabatku  sejak  dibangku  SD, Dwi,  yang  bersamanya  sekarang.
Waktu  itu  hari  minggu.  Aku  bersama  Dwi  sedang  menonton  DVD.  Tiba-tiba  ponselku  berbunyi.  Satu  pesan  diterima  dari  nomor  yang  tidak  kukenal.
Di,  jd  ga?  Ntar  gw  ke  rmh  lo!  Jgn  lpa  cd  yg  d  Lombk.  Gw  ksna  skrg!
“ Wi,  ini  siapa  ya?  Kok  nyasar  ke  hape  gue  sih?”  Dwi  lalu  mengambil  ponselku.
“  ga  tau!  Coba  gue  missed  call  ya!”
Tut…tut…tut.  Klik.
“  cowo  Nes!”  seru  Dwi  sedikit  panik.
Belum  habis  rasa  kaget  kami  berdua,  tiba-tiba  ponsel  Dwi  berbunyi.
“ dari  nomor  yang  tadi!”  jerit  Dwi  panik.  “ gimana  nih?”
“ angkat  aja!  Angkat…”  seruku  tak  kalah  panik.
“ ha…halo…”  sapa  Dwi  terbata-bata  pada  cowo  diseberang  sana.  “ i…iya,  tadi  nomor  lo  ada  di  hape  temen  gue!” 
Aku  menahan  nafas.  Tiba-tiba  raut  wajah  Dwi  mencair.
“ Nesta?  Iya,  gue  temennya  Nesta.  Lo  siapa?  Kok,  bisa  tau  Nesta?”  Dwi  tersenyum  heran  memandangku.  “  Aris?!”
Aku  langsung  merebut  ponsel  Dwi. “ Aris!  Ngapain  lo  ngesms  gue  aneh  kayak  gitu?”  tanyaku  heboh. “  hah!  Salah  nomer!  Pantesan…  ya  udah,  mau  diterusin  ga  ngobrol  sama  temen  gue  yang  tadi?”  aku  mengerling  pada  Dwi.
Dwi  mencubit  pahaku.
“ hah? Namanya? Oh… namanya  Dwi!  Udah, nih…”  kembali  kuberikan  ponselnya  pada  Dwi.  Lalu  mereka  berbincang-bincang.  Aku  hanya  tertawa  memandang  ekpresi  bingung  di  wajah  Dwi.

Hari  ini, tepat  tiga  minggu  setelah  kejadian  itu. Dan  telepon  nyasar  itu  pun  berlanjut  hingga  kini.
Dwi  dan  Aris  tiba  lima  belas  menit  kemudian.  Aris  tersenyum  menatapku.  Aku  mengerti.  Dia  memberiku  senyuman  sebagai  ucapan  terima  kasih  karena  telah  mengenalkannya  pada  Dwi. Dan  Dwi,  dia  tidak  dapat  menyembunyikan  binar  bahagia  dimatanya. Setelah  Aris  pergi,  Dwi  melompat-lompat  kegirangan.  Dia  menceritakan  semua  hal  yang  terjadi  hari  itu.  Dwi  bilang  kalau  Aris  memegang  tangannya  sewaktu  didalam  bioskop  karena  dia  kedinginan.
Tililit…tililit…tililit.
Aku  tersadar  dari  lamunanku.  Setengah  berlari,  kuangkat  telepon  yang  berdering.
“ halo!”  sapaku.
“ hai  Nes,  ini Toni.  Aku  ganggu  ga?” 
“ oh,  hai  Ton!  Nggak  kok,  nggak  ganggu.  Ada  apa?”
“ ah,  nggak.  Cuma  pengen  ngobrol  aja…”
Tak  terasa  sudah  satu  jam  berlalu.  Toni  mengajakku  makan  malam  hari  sabtu  besok.  Meskipun  sedikit  enggan,  kuterima  juga  ajakannya.  Dia  menutup  telepon  dengan  berbagai  nasehat  manis  dan  juga  ucapan  selamat  tidur.

Aku  kembali  berbaring  ditempat  tidurku.

Pikiranku  melayang,  mengenang  masa-masa  indahku  bersama  Aris.  Kami  memang  tidak  pernah  jadian.  Tapi  selama  masa  pemotretan  berjalan,  dia  selalu  bersamaku.  Bila  aku  tampak  lelah,  dia  selalu  ada  disampingku,  memberi  rangkulan  dan senyum  penyemangat. Ah…aku  tak  kuasa  untuk  tidak  menyukainya  setelah  itu.

Sebelum  tidur, aku  berdoa  agar  aku  tidak  memimpikan  Aris  lagi. Kurasa, aku  mulai  membencinya.
Syukurlah, Tuhan  mendengar  doaku. Pagi  harinya  aku  terbangun  dengan  mata  sedikit  bengkak  karena  kurang  tidur.
Disekolah, Dwi  sudah  menyambut  kedatanganku  dengan  wajah  ceria  dan  senyuman  lebar.
“ Nes,  mata  lo  kenapa?”  tanyanya  sambil  memegang  wajahku.  Aku  menepis  tangannya.
“ nggak! Cuma  kurang  tidur  aja…” jawabku.
“ Nes… gue  mau  cerita  sesuatu. Tapi… lo  jangan  marah  ya!” 
aku  menatap  wajah  Dwi  lekat-lekat. “ gue  udah  tau.  Elo  jadian  sama  Aris  kan…”  aku  merapikan  tempat  pensilku.

Dwi  mengangguk  perlahan.  Aku  tahu  dia  merasa  tidak  enak  padaku.  Itu  sebabnya,  aku  segera  menatapnya. “ gue  nggak  marah  sama  lo.  Sungguh!  Gue  Cuma  kesel  sama  diri  gue  sendiri.  Kenapa  gue  bisa  pernah, “ aku  memberi  tekanan  pada  kata  yang  satu  itu, “ suka  sama  dia…”
Dwi makin  menundukkan  kepalanya.  Aku  tersenyum simpul, “ eh, ngomong-ngomong… gue  minta  Pajak  Jadiannya  dong!  Ayo,  kita  ke  kantin!”  aku  menarik  lengan  Dwi  dan  tersenyum  lebar  padanya.
Dia  menyambut  senyumanku, “ tapi  jangan  banyak-banyak  ya!  Gue  lagi  ga  bawa  duit  nih!” seru  Dwi.
“ alah… biasanya  juga  ngutang  dulu  kan?”  sahutku.  Lalu  kami  pun  tertawa  berbarengan.

Sabtu  malam.

Aku  sudah  menceritakan  perihal  ajakan  makan  malam  Toni  pada  Dwi. Dia  tak  henti-hentinya  mencubiti  aku  bila  Toni  melintas  didepan  kami.
Entah  apa  yang  membuatku  selalu  menolaknya  mendekatiku. Padahal  wajahnya  cukup  tampan,  dia  juga  pintar. Belum  lagi  kemahirannya  bermain  gitar  plus  sifat  pandai  bergaulnya. Dan  yang  paling  hebat,  dia  adalah  anak  seorang  pengusaha  sukses.  Tapi,  justru  hal  hebat  itulah  yang  membuatku  enggan  membuka  hatiku  padanya.

Aku  tidak  mau  dibilang  cewe  matre  atau  apalah  yang  dikatakan  cewe-cewe  yang  mendekatinya  itu, yang  tentu  saja  jauh  lebih  menarik, lebih  pintar, dan  lebih  sederajat  dengannya.  Namun,  dia  tidak  mau  berpindah  haluan.  Sudah  hampir  dua  tahun  ini  dia  terus  berusaha  mendekatiku.
Aku  masih  terpaku  didepan  meja  riasku.  Tidak  tahu  apa  yang  harus  kulakukan. Tak  lama, suara  motor  sport  milik  Toni  menderu-deru  didepan  rumahku. Aku  meminta  Toni  tidak  membawa  mobil  mewahnya  sebagai  syarat  untuk  bisa  mengajakku  pergi  malam  ini.

Toni  membawaku  ke  suatu  tempat  yang  indah.  Tempat  makan  ini  tidak  terlalu  mewah, namun  pemandangan  disekitarnya  dan  live  music  yang  disajikan, membuat  tempat  ini  tampak  sangat  romantis. Setelah  memesan  makanan,  kami  pun  berbincang-bincang  mengenai  musik,  film,  sampai  tempat  kami  melanjutkan  kuliah  nanti.
“ aku  ditawari  ayah  kuliah  di  London.  Tapi,  aku  nggak  mau…”  ujar  Toni  disela  makan  kami.
“ kenapa? Kan  asyik  tuh. Kamu  bisa  nambah  banyak  pengalaman  disana…” sahutku.
Toni  menggeleng. “  aku  nggak  mau  dan  nggak  bisa,”  jawabnya  singkat.
“ nggak  bisa  karena  apa?”  tanyaku  tidak  habis  pikir.
Toni  menghentikan  makannya,  lalu  menatapku.  Aku  jadi  salah  tingkah.  Apa  aku  salah  bicara  tadi?
Tiba-tiba  dia  tersenyum,“ karena  kamu…”  sahutnya  sambil  menggenggam  erat  kedua  tanganku.
Diam.
“ kenapa  aku?” tanyaku  ditengah  keheningan  kami.
“ karena  kamu  beda.  Kamu  nggak  suka  kekayaanku.  Nggak  seperti  cewe-cewe  itu, yang  cuma  ingin  uang  ayah  yang  diberikan  padaku…”  sahutnya  mantap.
Aku  tidak  sanggup  lagi  berbicara. Aku  hanya  dapat  menatap  lekat  matanya.  Meyakinkan  diriku  bahwa  kata-katanya  barusan  adalah  kesungguhan.
“ tunggu  disini  ya…” Toni  lalu  beranjak  dari  kursinya.  Dia  berjalan  menuju  stage  dan  mengambil  sebuah  gitar. “ selamat  malam  semuanya… aku  ingin  memberikan  sebuah  lagu  untuk  gadis  bergaun  hitam  yang  duduk  disana,”  Toni  menunjuk  tempat  duduk  kami.
Semua  orang  langsung  menatap  kearahku.  Kurasakan  wajahku  memanas  karena  malu.
“ aku  persembahkan  lagu  ini  untukmu  Ernesta  Wimala…”. Denting  gitar  Toni  mulai  memenuhi  seluruh  ruangan  itu, “… be  my  lady,  be  the  one  and  good  things  will  come  to  our  hearts… you’re  my  lady,  you’re  my  one  give  me  chance  to  show  you  love…”
Airmataku  meleleh.  Kenapa  aku  mengharapkan  sesuatu  yang  jauh  dariku? Sedangkan  didekatku  ada  seseorang  yang  bersedia  menerimaku  apa  adanya! Menyayangiku  sepenuh  hati! Bodohnya  aku!

Maka,  saat  itu  juga  aku  memutuskan  untuk  menerima  Toni  setulusnya.