Satu sore yang cukup terik di hari minggu. Aku dan kawanku
Nyit-nyit, duduk di teras rumahku sambil menikmati segelas es jeruk buatan ibu.
Umm…segarnya!
Tiba-tiba
adikku Tika yang berumur tujuh tahun, datang tergopoh-gopoh menghampiri kami.
“Kak…kakak, ajarin Tika maen engklek dong…” pintanya setengah merengek.
Aku dan Nyit-nyit kontan saja langsung saling pandang. Heran. “Memang ade mau apa minta diajari maen engklek segala?” tanyaku sambil membawanya
kepangkuan.
Tika memainkan ujung rok bajunya resah, “Abis
Tika diejekin temen-temen gara-gara ngga tau caranya maen engklek…”
jelasnya terisak.
“memang yang ngejek Tika temen-temen dimana?”
tanya Nyit-nyit yang jadi ikut penasaran.
“Temen-temen disitu…” Tika menunjuk kearah
lapangan belakangan rumah kami. “ katanya Tika bodoh, ngga bisa maen engklek.
Padahal Tika kan
ngga pernah maen yang kayak gitu di sekolah…” ucapnya sambil kembali
memilin-milin ujung roknya.
Aku dan Nyit-nyit hanya tersenyum menanggapi
jawaban polos Tika. Tika memang sudah disekolahkan Ibu sejak usia tiga tahun.
Keputusan itu diambil karena Ibu adalah seorang wanita karier yang hanya
memiliki sedikit waktu dirumah. Agar Tika tidak merasa kesepian tinggal
dirumah, maka Ibu pun memutuskan untuk menyekolahkannya sedini mungkin.
“Sini kakak ajarin…” ucapku. Lalu aku pun
menggambar kotak-kotak persegi di tanah menggunakan sebatang lidi, lalu
menjelaskan cara bermain engklek pada Tika.
Saat Tika dan Nyit-nyit asyik bermain engklek,
sebuah pikiran melintas dibenakku. Betapa teknologi telah mencuri semua
permainan anak-anak yang selalu dimainkan olehku zaman dulu. Anak-anak kota zaman sekarang
kurang mengenal permainan-permainan anak desa seperti engklek, petak umpet,
gatrik, rebonan, galah, congklak, dan masih banyak permainan lainnya.
Keberadaan semua permainan itu telah dicuri oleh Play Station, Game Box,
Ding-Dong, dan permainan-permainan berbau teknologi lainnya.
Tidak menampik bahwa aku pun menyukai segala
permainan modern tersebut, tetapi teknologi memang telah memberikan banyak
kemajuan yang terkadang tidak selalu membawa dampak yang baik. Tengok saja adik
lelakiku, Doni. Dia lebih senang berkutat didepan PS 2-nya setelah
pulang sekolah daripada bermain layang-layang diluar. Padahal menurutku,
bermain diluar membuat tubuh lebih banyak bergerak dan membuat kita menghirup lebih
banyak udara segar yang menjernihkan pikiran. Memainkan permainan seperti Galah,
petak umpet, atau rebonan menurutku jauh lebih baik ketimbang bermain PS. Dalam permainan-permainan itu, kita
dapat menumbuhkan sikap saling bekerja sama dan solidaritas yang tinggi, dan
yang paling penting, membuat badan lebih sehat, karena kita terpaksa harus
berlari mengejar musuh, menyelamatkan kawan kita yang dikejar-kejar, atau kita
sendiri yang harus berlari menghindari musuh.
Aku jadi ingat. Pernah suatu hari, aku
berangkat ke kampus dengan menumpang mobil jemputan adikku, Doni. Saat aku
sedang melamun memperhatikan jalan raya, tanpa sengaja aku memperhatikan
percakapan dua anak perempuan kawan adikku.
Gadis yang berbando merah, yang belakangan
kuketahui bernama Sita, sedang memainkan ponselnya yang berwarna shocking
pink. “ eh, Winda!” serunya memanggil seorang anak perempuan lain yang
memakai bando berwarna biru.
“ apa?” sahut si Winda.
“ kamu punya pulsa nggak? Aku minta dong!
Soalnya aku belum sempet bales sms-nya Roni kemaren malem…” pinta Sita pada
kawannya itu.
Winda hanya mengangguk sambil memberikan
ponselnya yang tak kalah canggih dengan milik Sita. Lalu mereka berdua
membicarakan si Roni itu dengan semangat.
Aku hanya tersenyum melihat dua anak perempuan
yang masih bau kencur itu membahas cinta monyet mereka. Setelah melihat itu aku
merenung. Betapa dunia telah jauh berubah. Zaman aku SD dulu, jangankan ponsel,
minta dibelikan tamagochi saja, aku harus merengek-rengek pada Ibu satu
bulan penuh. Lagipula, dulu waktu di dalam mobil jemputan, paling-paling
pertanyaan yang aku lontarkan adalah ‘ kamu liat film doraemon ngga kemaren?
Aku ngga nih, soalnya diajak pergi sama Ibu!’ seperti itu. Tidak ada istilah minta
pulsa untuk menghubungi cowok. Tidak ada istilah pacaran jaman aku SD dulu.
“ kak! Kakak…”
Suara Tika membuyarkan lamunanku. Sekarang
giliranku melempar kojo milikku untuk menentukan ke kotak mana aku harus
melangkah.
* * *
Suatu hari aku pergi ke sebuah warung internet
(Warnet) dekat rumahku. Aku memang jarang mengunjungi Warnet itu karena aku
lebih suka mengerjakan tugas kuliahku di kampus. Tetapi hari itu, aku terpaksa
harus pergi ke Warnet sesegera mungkin karena tugas yang minggu lalu diberikan
dosen, tapi belum sempat kukerjakan, ternyata harus dikumpulkan esok hari.
Setelah mengambil nomor di tempat penjaga Warnet, aku berjalan menuju booth-ku.
Sebelum aku tiba di booth-ku, tiba-tiba
aku melihat segerombol anak kecil berusia sekitar 8-9 tahunan sedang
cekikik-cekikikan sambil menatap layar monitor disalah satu booth yang
ada disana. Penasaran, aku pun memutuskan untuk menghampiri mereka. Namun, Ya
Tuhan! Aku sangat terkejut sekali saat melihat apa yang bocah-bocah ingusan itu
lakukan. Mereka sedang melihat gambar-gambar porno di internet.
Dengan perasaan kesal, aku segera menyuruh
anak-anak kecil itu pergi dari sana .
Aku segera berjalan menghampiri abang penjaga Warnet itu dan memarahinya.
Orang-orang yang ada disana langsung menoleh kearahku yang sedang
memarah-marahi si Abang penjaga Warnet. Tapi aku tidak peduli. Pendidikan
anak-anak penerus generasi bangsa adalah tanggung jawab kita semua sebagai
orang-orang yang lebih dulu terlahir ke dunia. Apa jadinya generasi mendatang
jikalau bocah-bocah kecil seperti itu sudah disuguhkan tontonan gambar-gambar
yang tidak bermoral.
Setelah itu aku langsung beranjak dari sana . Aku tidak
mempedulikan tatapan orang-orang disana. Aku juga tidak peduli bila mereka
menganggapku sok ikut campur urusan orang lain atau apalah. Yang penting aku
sudah melakukan sesuatu yang aku yakin benar.
* * *
Dosenku saat itu sedang membahas tentang betapa
filterisasi itu dibutuhkan saat menghadapi era globalisasi sekarang ini.
Menurutnya, Segala hal asing yang masuk secara tak terkendali ke bumi Indonesia ini
perlu disaring terlebih dahulu. Tidak selamanya budaya asing berpengaruh baik
pada manusia-manusia Indonesia
yang notabene hidup di belahan bumi yang berbeda.
Aku menyimak segala penjelasan yang
dilontarkannya dengan baik. Aku sangat menyetujui pendapatnya tentang bangsa Indonesia yang
menganut budaya timur ini cenderung mengamini segala hal apapun yang masuk ke
dalam kebudayaannya tanpa memperhatikan baik dan buruknya budaya tersebut.
Kurangnya pemahaman akan pentingnya filterisasi budaya memang menjadi faktor
utama buruknya pengaruh yang ditimbulkan budaya asing bagi bangsa Indonesia . Pada
perkembangannya, budaya asing yang masuk malah disalahgunakan oleh pihak-pihak
yang tidak bertanggung jawab.
Tiba-tiba salah seorang teman sekelasku
mengacungkan tangannya, “ apa Bapak dapat memberikan contoh penyalahgunaan
tersebut, Pak?” tanyanya.
“ pertanyaan bagus!” ucap Si Dosen. Lalu dia pun memberikan sebuah contoh yang
bagus, yaitu penyalahgunaan minuman keras.
Di negeri barat sana yang memiliki empat musim, tentu
mengalami musim dingin yang suhunya mencapai minus nol derajat. Untuk itu,
mereka membutuhkan sesuatu untuk menjaga tubuh mereka agar tetap hangat di suhu
sedingin itu. Minuman seperti whisky dan vodka dapat membantu mereka karena
menimbulkan efek hangat bagi tubuh peminumnya.
Menurutku, pikiran-pikiran seperti itu masih
mengakar kuat dalam benak orang Indonesia
karena pada jaman penjajahan dulu, kita telah didoktrin bahwa orang kulit putih
memiliki derajat yang lebih tinggi dibanding orang yang memiliki kulit
berwarna. Doktrin yang berbau rasisme ini berlaku hampir diseluruh belahan
dunia. Bahkan dulu, di benua Afrika sana ,
orang putih memiliki kekuasaan dominan di negeri yang mayoritas warganya
berkulit gelap.
Suara ponsel Si Dosen mengakhiri kuliah hari
itu, karena waktunya memang telah habis.
* * *
Saat melangkah keluar kelas menuju kantin,
tiba-tiba tanganku ditarik keras sekali oleh Nyit-nyit.
“ Phan, ikut gue cepetan!” ucapnya tergesa-gesa
sambil membawaku ke suatu tempat.
“ mu kemana sih, Nyit? Gue kan laper…”
“ udah ikut aja dulu!” sahutnya singkat.
Aku masih merasa sangat penasaran, tapi aku
tahan mulutku sebisa mungkin untuk tidak bertanya apa-apa sampai kami tiba di
tempat yang kami tuju.
Nyit-nyit ternyata membawaku ke sebuah kelas di
Gedung C kampus kami, dan ternyata di kelas itu pun telah ada teman-temanku
yang lain. Mereka berenam sedang menanti kedatanganku.
“ ada apa sih ini?” tanyaku heran.
“ kita mau ngebahas sesuatu…” sahut Dian
diiringi anggukan kepala yang lainnya.
Aku jadi merasa semakin penasaran. “ iya apa?”
Kali ini Een yang berbicara, “ tadi, gue sama
Qinan kan
minjem hapenya si Arya. Terus, gue ngeliat ada foto toketnya
Santi sama foto pantatnya Wiwi di hapenya dia!”
“ what?!” tanyaku setengah tak percaya.
Aku lebih merasakan kecewa daripada terkejut. Tega-teganya kawan sekelas kami
berbuat begitu.
Sedikit penjelasan, Santi adalah kawan kami
yang lain, tidak termasuk dalam kami berdelapan.
“ iya,” sekarang giliran Qinan yang
menjelaskan. “ gue hafal banget kaosnya Santi itu. Jadi gambarnya diambil dari
jauh terus di-zoom gitu Phan…” terangnya, membuatku semakin merasa shock.
“ terus kalo Wiwi…” dia melirik ke arah Wiwi yang duduk diam di sudut kelas, “
gue hafal tas polkadotnya. Si Arya motret pantatnya Wiwi…”
Aku memandang Wiwi yang terlihat sangat terpukul. Ini sudah termasuk
tindakan kriminal. Pelecehan seksual. Hal ini tidak dapat dibiarkan. Saat itu
juga aku langsung pergi mencari Arya. Teman-temanku mengekor dibelakang.
Kami menemukan Arya sedang tertawa-tawa di kantin. Langsung saja
kuseret dia keluar kantin, lalu kami berdelapan pun mengerubunginya. Setelah
menyita ponselnya, kami lalu menginterogasi dia, tetapi dia tidak mau mengakui
kalau itu adalah perbuatannya, walaupun jelas-jelas foto-foto itu ada didalam
ponselnya.
Kami tidak mau membuat kegaduhan di tempat umum dengan memaksa dia
untuk mengakui perbuatannya, karena itu, kami pun memutuskan untuk menghapus
foto-foto itu, mengembalikan ponselnya, lalu segera beranjak dari sana dengan perasaan
dongkol.
* * *
Dalam bus kota
saat perjalanan pulang ke rumah setelah kejadian itu, aku berpikir. Betapa
kemajuan teknologi telah membawa banyak sekali perubahan pada dunia ini.
Sayangnya, tidak hanya membawa perubahan yang baik, tetapi juga membawa dampak
buruk.
Aku merasa semakin kecewa pada orang-orang yang
menyalahgunakan perkembangan teknologi. Mengapa ada segelintir orang-orang
tertentu yang tidak menggunakan teknologi untuk tujuan yang baik? Padahal, teknologi
telah membuka mata kita untuk melihat dunia yang semakin hari semakin
berkembang, lebih jauh. Teknologi telah membawa kita mengelilingi dunia hanya
dalam waktu beberapa menit saja. Teknologi juga telah membantu kita melintasi
jarak, ruang, dan waktu.
Mungkin memang harus begitulah adanya, efek dari segala sesuatu yang
terjadi di dunia ini. Segalanya memiliki dua sisi. Ada siang, ada malam. Kutub utara dan kutub
selatan. Positif dan negatif. Segala sesuatu yang terjadi pun memiliki dua
dampak, yaitu dampak baik dan dampak buruk. Semuanya bergantung pada siapa,
apa, dan bagaimana cara penggunaannya.
Aku jadi kembali teringat pada adik-adikku,
Doni dan Tika. Mereka mungkin adalah korban dari kemajuan teknologi yang tak
terkendali. Bahkan mungkin, tanpa kusadari, aku juga sudah menjadi korban dari
pesatnya kemajuan dunia teknologi.
Lamunanku dibuyarkan oleh seorang pengamen
cilik berusia sekitar delapan tahun yang meminta uang padaku. Tubuhnya kotor
sekali. Telinganya ber-piercing, dan tanpa sengaja kulihat ada sebatang
rokok terselip disana. Dia menatap aneh kearahku. Menelitiku dari atas sampai
bawah.
Tatapannya lalu berhenti di celana jeans kumal
plus sobek-sobek milikku. “ Rock N Roll, Neng!” celetuknya.
Ya Tuhan!
* * *
Keterangan
engklek :
permainan daerah. Cara memainkannya adalah dengan melompat-lompat dalam
kotak-kotak yang sudah digambat di tanah.
Tamagochi :
sejenis mainan digital dimana kita memelihara hewan virtual yang ada
didalamnya.
Toket :
buah dada
Hape :
ponsel
Piercing :
tindikkan