Aku
hanya tersenyum hambar
menatap wajah Dwi
yang menyiratkan kebahagiaan
itu, tetapi tidak dapat
kurasakan. Terbersit rasa
kecewa yang sangat
dalam dihatiku. Meskipun, aku yang
mengatur pertemuan mereka
hari ini.
Setelah Dwi mohon
pamit, aku berlari
menuju kamarku. Kuseka pipi
yang basah dengan punggung tanganku. Kuhela nafas
berat. Kupandang langit
cerah sore itu.
Sama, seperti saat aku
bertemu dengan pria
itu.
Aris. Cowo supel yang sangat
menyenangkan. Aku bertemu
dengannya saat pemotretan
untuk sebuah majalah
ibukota. Teman-temanku
begitu mengagumi sosok
fotografer muda yang
humoris itu. Mereka
selalu berusaha menarik
perhatiannya. Sedangkan, aku sama sekali
tidak tergugah untuk
ikut berinteraksi dengan
makhluk ganteng yang,
menurutku, aneh itu.
Mungkin karena aku
tidak ikut-ikutan mengaguminya, pria itu
jadi mendekatiku. Awalnya, dia
berbasa-basi menanyakan ini-itu
padaku. Aku ladeni
semua pertanyaan itu
dengan jawaban sekenanya.
Malas. Namun, lama kelamaan
kami menjadi akrab.
Aku merebahkan tubuhku
sambil kembali mengingat
kejadian tadi siang.
“ Halo Nesta,
gue kerumah lo
ya… bentar lagi
gue nyampe! Sekarang
gue lagi dijalan.
Oya, lo dapet
salam tuh dari
Aris. Dah dulu
ya,”
Klik. Telepon ditutup.
Aku terdiam beberapa
saat. Meyakinkan diri
bahwa aku telah
siap menerima semuanya.
Menerima kepergian Aris
dari hatiku. Dan
menerima bahwa sahabatku
sejak dibangku SD, Dwi,
yang bersamanya sekarang.
Waktu itu hari
minggu. Aku bersama
Dwi sedang menonton
DVD. Tiba-tiba ponselku
berbunyi. Satu pesan
diterima dari nomor
yang tidak kukenal.
Di, jd ga?
Ntar gw ke rmh lo!
Jgn lpa cd
yg d Lombk.
Gw ksna skrg!
“ Wi, ini siapa
ya? Kok nyasar
ke hape gue
sih?” Dwi lalu
mengambil ponselku.
“ ga tau!
Coba gue missed
call ya!”
Tut…tut…tut. Klik.
“ cowo Nes!”
seru Dwi sedikit
panik.
Belum habis rasa
kaget kami berdua,
tiba-tiba ponsel Dwi
berbunyi.
“ dari nomor yang
tadi!” jerit Dwi
panik. “ gimana nih?”
“ angkat aja! Angkat…”
seruku tak kalah
panik.
“ ha…halo…” sapa Dwi
terbata-bata pada cowo
diseberang sana. “ i…iya,
tadi nomor lo
ada di hape
temen gue!”
Aku menahan nafas.
Tiba-tiba raut wajah
Dwi mencair.
“ Nesta? Iya, gue
temennya Nesta. Lo
siapa? Kok, bisa
tau Nesta?” Dwi
tersenyum heran memandangku.
“ Aris?!”
Aku langsung merebut
ponsel Dwi. “ Aris! Ngapain
lo ngesms gue
aneh kayak gitu?”
tanyaku heboh. “ hah!
Salah nomer! Pantesan…
ya udah, mau
diterusin ga ngobrol
sama temen gue
yang tadi?” aku
mengerling pada Dwi.
Dwi mencubit pahaku.
“ hah? Namanya? Oh… namanya
Dwi! Udah, nih…” kembali
kuberikan ponselnya pada
Dwi. Lalu mereka
berbincang-bincang. Aku hanya
tertawa memandang ekpresi
bingung di wajah
Dwi.
Hari ini, tepat tiga
minggu setelah kejadian
itu. Dan telepon nyasar
itu pun berlanjut
hingga kini.
Dwi dan Aris
tiba lima belas
menit kemudian. Aris
tersenyum menatapku. Aku
mengerti. Dia memberiku
senyuman sebagai ucapan
terima kasih karena
telah mengenalkannya pada
Dwi. Dan Dwi, dia
tidak dapat menyembunyikan binar
bahagia dimatanya. Setelah Aris
pergi, Dwi melompat-lompat kegirangan.
Dia menceritakan semua
hal yang terjadi
hari itu. Dwi
bilang kalau Aris
memegang tangannya sewaktu
didalam bioskop karena
dia kedinginan.
Tililit…tililit…tililit.
Aku tersadar dari
lamunanku. Setengah berlari,
kuangkat telepon yang
berdering.
“ halo!” sapaku.
“ hai Nes, ini Toni.
Aku ganggu ga?”
“ oh, hai Ton!
Nggak kok, nggak
ganggu. Ada apa?”
“ ah, nggak. Cuma
pengen ngobrol aja…”
Tak terasa sudah
satu jam berlalu.
Toni mengajakku makan
malam hari sabtu
besok. Meskipun sedikit
enggan, kuterima juga
ajakannya. Dia menutup
telepon dengan berbagai
nasehat manis dan
juga ucapan selamat
tidur.
Aku kembali berbaring
ditempat tidurku.
Pikiranku
melayang, mengenang masa-masa
indahku bersama Aris.
Kami memang tidak
pernah jadian. Tapi
selama masa pemotretan
berjalan, dia selalu
bersamaku. Bila aku
tampak lelah, dia
selalu ada disampingku,
memberi rangkulan dan senyum
penyemangat. Ah…aku tak kuasa
untuk tidak menyukainya
setelah itu.
Sebelum tidur,
aku berdoa agar
aku tidak memimpikan
Aris lagi. Kurasa, aku mulai
membencinya.
Syukurlah, Tuhan
mendengar doaku. Pagi harinya
aku terbangun dengan
mata sedikit bengkak
karena kurang tidur.
Disekolah, Dwi
sudah menyambut kedatanganku
dengan wajah ceria
dan senyuman lebar.
“ Nes, mata lo
kenapa?” tanyanya sambil
memegang wajahku. Aku
menepis tangannya.
“ nggak! Cuma
kurang tidur aja…” jawabku.
“ Nes… gue mau cerita
sesuatu. Tapi… lo jangan marah
ya!”
aku menatap wajah
Dwi lekat-lekat. “ gue udah
tau. Elo jadian
sama Aris kan…”
aku merapikan tempat
pensilku.
Dwi mengangguk perlahan.
Aku tahu dia
merasa tidak enak
padaku. Itu sebabnya,
aku segera menatapnya. “ gue nggak
marah sama lo.
Sungguh! Gue Cuma
kesel sama diri
gue sendiri. Kenapa
gue bisa pernah, “ aku
memberi tekanan pada
kata yang satu
itu, “ suka sama dia…”
Dwi makin
menundukkan kepalanya. Aku
tersenyum simpul, “ eh, ngomong-ngomong… gue minta
Pajak Jadiannya dong!
Ayo, kita ke
kantin!” aku menarik
lengan Dwi dan
tersenyum lebar padanya.
Dia menyambut senyumanku, “ tapi jangan
banyak-banyak ya! Gue
lagi ga bawa
duit nih!” seru Dwi.
“ alah… biasanya
juga ngutang dulu
kan?” sahutku. Lalu
kami pun tertawa
berbarengan.
Sabtu malam.
Aku sudah menceritakan
perihal ajakan makan
malam Toni pada
Dwi. Dia tak henti-hentinya mencubiti
aku bila Toni
melintas didepan kami.
Entah apa yang
membuatku selalu menolaknya
mendekatiku. Padahal
wajahnya cukup tampan,
dia juga pintar. Belum
lagi kemahirannya bermain
gitar plus sifat
pandai bergaulnya. Dan yang
paling hebat, dia
adalah anak seorang
pengusaha sukses. Tapi,
justru hal hebat
itulah yang membuatku
enggan membuka hatiku
padanya.
Aku tidak mau
dibilang cewe matre
atau apalah yang
dikatakan cewe-cewe yang
mendekatinya itu, yang tentu
saja jauh lebih
menarik, lebih pintar, dan lebih
sederajat dengannya. Namun,
dia tidak mau
berpindah haluan. Sudah
hampir dua tahun
ini dia terus
berusaha mendekatiku.
Aku masih terpaku
didepan meja riasku.
Tidak tahu apa
yang harus kulakukan. Tak lama, suara
motor sport milik
Toni menderu-deru didepan
rumahku. Aku meminta Toni
tidak membawa mobil
mewahnya sebagai syarat
untuk bisa mengajakku
pergi malam ini.
Toni membawaku ke
suatu tempat yang
indah. Tempat makan
ini tidak terlalu
mewah, namun pemandangan disekitarnya
dan live music
yang disajikan, membuat tempat
ini tampak sangat
romantis. Setelah memesan makanan,
kami pun berbincang-bincang mengenai
musik, film, sampai
tempat kami melanjutkan
kuliah nanti.
“ aku ditawari ayah
kuliah di London.
Tapi, aku nggak
mau…” ujar Toni
disela makan kami.
“ kenapa? Kan
asyik tuh. Kamu bisa
nambah banyak pengalaman
disana…” sahutku.
Toni menggeleng.
“ aku
nggak mau dan
nggak bisa,” jawabnya
singkat.
“ nggak bisa karena
apa?” tanyaku tidak
habis pikir.
Toni menghentikan makannya,
lalu menatapku. Aku
jadi salah tingkah.
Apa aku salah
bicara tadi?
Tiba-tiba dia tersenyum,“ karena kamu…”
sahutnya sambil menggenggam
erat kedua tanganku.
Diam.
“ kenapa aku?”
tanyaku ditengah keheningan
kami.
“ karena kamu beda.
Kamu nggak suka
kekayaanku. Nggak seperti
cewe-cewe itu, yang cuma
ingin uang ayah
yang diberikan padaku…”
sahutnya mantap.
Aku tidak sanggup
lagi berbicara. Aku hanya
dapat menatap lekat
matanya. Meyakinkan diriku
bahwa kata-katanya barusan
adalah kesungguhan.
“ tunggu disini ya…” Toni
lalu beranjak dari
kursinya. Dia berjalan
menuju stage dan
mengambil sebuah gitar. “ selamat malam
semuanya… aku ingin memberikan
sebuah lagu untuk gadis
bergaun hitam yang
duduk disana,” Toni
menunjuk tempat duduk
kami.
Semua orang langsung
menatap kearahku. Kurasakan
wajahku memanas karena
malu.
“ aku
persembahkan lagu ini
untukmu Ernesta Wimala…”. Denting gitar
Toni mulai memenuhi
seluruh ruangan itu, “… be
my lady, be
the one and
good things will
come to our
hearts… you’re my lady,
you’re my one
give me chance
to show you
love…”
Airmataku
meleleh. Kenapa aku
mengharapkan sesuatu yang jauh dariku? Sedangkan didekatku
ada seseorang yang
bersedia menerimaku apa
adanya! Menyayangiku sepenuh hati! Bodohnya aku!
Maka, saat itu
juga aku memutuskan
untuk menerima Toni
setulusnya.
No comments:
Post a Comment