Friday, September 14, 2012

Sekilas dulu dan kini


Satu sore yang cukup terik di hari minggu. Aku dan kawanku Nyit-nyit, duduk di teras rumahku sambil menikmati segelas es jeruk buatan ibu. Umm…segarnya!
            Tiba-tiba adikku Tika yang berumur tujuh tahun, datang tergopoh-gopoh menghampiri kami. “Kak…kakak, ajarin Tika maen engklek dong…” pintanya setengah merengek.
Aku dan Nyit-nyit kontan saja langsung saling pandang. Heran. “Memang ade mau apa minta diajari maen engklek segala?” tanyaku sambil membawanya kepangkuan.
Tika memainkan ujung rok bajunya resah, “Abis Tika diejekin temen-temen gara-gara ngga tau caranya maen engklek…” jelasnya terisak.
“memang yang ngejek Tika temen-temen dimana?” tanya Nyit-nyit yang jadi ikut penasaran.
“Temen-temen disitu…” Tika menunjuk kearah lapangan belakangan rumah kami. “ katanya Tika bodoh, ngga bisa maen engklek. Padahal Tika kan ngga pernah maen yang kayak gitu di sekolah…” ucapnya sambil kembali memilin-milin ujung roknya.
Aku dan Nyit-nyit hanya tersenyum menanggapi jawaban polos Tika. Tika memang sudah disekolahkan Ibu sejak usia tiga tahun. Keputusan itu diambil karena Ibu adalah seorang wanita karier yang hanya memiliki sedikit waktu dirumah. Agar Tika tidak merasa kesepian tinggal dirumah, maka Ibu pun memutuskan untuk menyekolahkannya sedini mungkin.
“Sini kakak ajarin…” ucapku. Lalu aku pun menggambar kotak-kotak persegi di tanah menggunakan sebatang lidi, lalu menjelaskan cara bermain engklek pada Tika.
Saat Tika dan Nyit-nyit asyik bermain engklek, sebuah pikiran melintas dibenakku. Betapa teknologi telah mencuri semua permainan anak-anak yang selalu dimainkan olehku zaman dulu. Anak-anak kota zaman sekarang kurang mengenal permainan-permainan anak desa seperti engklek, petak umpet, gatrik, rebonan, galah, congklak, dan masih banyak permainan lainnya. Keberadaan semua permainan itu telah dicuri oleh Play Station, Game Box, Ding-Dong, dan permainan-permainan berbau teknologi lainnya.
Tidak menampik bahwa aku pun menyukai segala permainan modern tersebut, tetapi teknologi memang telah memberikan banyak kemajuan yang terkadang tidak selalu membawa dampak yang baik. Tengok saja adik lelakiku, Doni. Dia lebih senang berkutat didepan PS 2-nya setelah pulang sekolah daripada bermain layang-layang diluar. Padahal menurutku, bermain diluar membuat tubuh lebih banyak bergerak dan membuat kita menghirup lebih banyak udara segar yang menjernihkan pikiran. Memainkan permainan seperti Galah, petak umpet, atau rebonan menurutku jauh lebih baik ketimbang bermain PS. Dalam permainan-permainan itu, kita dapat menumbuhkan sikap saling bekerja sama dan solidaritas yang tinggi, dan yang paling penting, membuat badan lebih sehat, karena kita terpaksa harus berlari mengejar musuh, menyelamatkan kawan kita yang dikejar-kejar, atau kita sendiri yang harus berlari menghindari musuh.
Aku jadi ingat. Pernah suatu hari, aku berangkat ke kampus dengan menumpang mobil jemputan adikku, Doni. Saat aku sedang melamun memperhatikan jalan raya, tanpa sengaja aku memperhatikan percakapan dua anak perempuan kawan adikku.
Gadis yang berbando merah, yang belakangan kuketahui bernama Sita, sedang memainkan ponselnya yang berwarna shocking pink. “ eh, Winda!” serunya memanggil seorang anak perempuan lain yang memakai bando berwarna biru.
“ apa?” sahut si Winda.
“ kamu punya pulsa nggak? Aku minta dong! Soalnya aku belum sempet bales sms-nya Roni kemaren malem…” pinta Sita pada kawannya itu.
Winda hanya mengangguk sambil memberikan ponselnya yang tak kalah canggih dengan milik Sita. Lalu mereka berdua membicarakan si Roni itu dengan semangat.
Aku hanya tersenyum melihat dua anak perempuan yang masih bau kencur itu membahas cinta monyet mereka. Setelah melihat itu aku merenung. Betapa dunia telah jauh berubah. Zaman aku SD dulu, jangankan ponsel, minta dibelikan tamagochi saja, aku harus merengek-rengek pada Ibu satu bulan penuh. Lagipula, dulu waktu di dalam mobil jemputan, paling-paling pertanyaan yang aku lontarkan adalah ‘ kamu liat film doraemon ngga kemaren? Aku ngga nih, soalnya diajak pergi sama Ibu!’ seperti itu. Tidak ada istilah minta pulsa untuk menghubungi cowok. Tidak ada istilah pacaran jaman aku SD dulu.
“ kak! Kakak…”
Suara Tika membuyarkan lamunanku. Sekarang giliranku melempar kojo milikku untuk menentukan ke kotak mana aku harus melangkah.
                                                            *          *          *
Suatu hari aku pergi ke sebuah warung internet (Warnet) dekat rumahku. Aku memang jarang mengunjungi Warnet itu karena aku lebih suka mengerjakan tugas kuliahku di kampus. Tetapi hari itu, aku terpaksa harus pergi ke Warnet sesegera mungkin karena tugas yang minggu lalu diberikan dosen, tapi belum sempat kukerjakan, ternyata harus dikumpulkan esok hari. Setelah mengambil nomor di tempat penjaga Warnet, aku berjalan menuju booth-ku.
Sebelum aku tiba di booth-ku, tiba-tiba aku melihat segerombol anak kecil berusia sekitar 8-9 tahunan sedang cekikik-cekikikan sambil menatap layar monitor disalah satu booth yang ada disana. Penasaran, aku pun memutuskan untuk menghampiri mereka. Namun, Ya Tuhan! Aku sangat terkejut sekali saat melihat apa yang bocah-bocah ingusan itu lakukan. Mereka sedang melihat gambar-gambar porno di internet.
Dengan perasaan kesal, aku segera menyuruh anak-anak kecil itu pergi dari sana. Aku segera berjalan menghampiri abang penjaga Warnet itu dan memarahinya. Orang-orang yang ada disana langsung menoleh kearahku yang sedang memarah-marahi si Abang penjaga Warnet. Tapi aku tidak peduli. Pendidikan anak-anak penerus generasi bangsa adalah tanggung jawab kita semua sebagai orang-orang yang lebih dulu terlahir ke dunia. Apa jadinya generasi mendatang jikalau bocah-bocah kecil seperti itu sudah disuguhkan tontonan gambar-gambar yang tidak bermoral.
Setelah itu aku langsung beranjak dari sana. Aku tidak mempedulikan tatapan orang-orang disana. Aku juga tidak peduli bila mereka menganggapku sok ikut campur urusan orang lain atau apalah. Yang penting aku sudah melakukan sesuatu yang aku yakin benar.
                                                            *          *          *
Dosenku saat itu sedang membahas tentang betapa filterisasi itu dibutuhkan saat menghadapi era globalisasi sekarang ini. Menurutnya, Segala hal asing yang masuk secara tak terkendali ke bumi Indonesia ini perlu disaring terlebih dahulu. Tidak selamanya budaya asing berpengaruh baik pada manusia-manusia Indonesia yang notabene hidup di belahan bumi yang berbeda.
Aku menyimak segala penjelasan yang dilontarkannya dengan baik. Aku sangat menyetujui pendapatnya tentang bangsa Indonesia yang menganut budaya timur ini cenderung mengamini segala hal apapun yang masuk ke dalam kebudayaannya tanpa memperhatikan baik dan buruknya budaya tersebut. Kurangnya pemahaman akan pentingnya filterisasi budaya memang menjadi faktor utama buruknya pengaruh yang ditimbulkan budaya asing bagi bangsa Indonesia. Pada perkembangannya, budaya asing yang masuk malah disalahgunakan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab.
Tiba-tiba salah seorang teman sekelasku mengacungkan tangannya, “ apa Bapak dapat memberikan contoh penyalahgunaan tersebut, Pak?” tanyanya.
“ pertanyaan bagus!” ucap Si Dosen.  Lalu dia pun memberikan sebuah contoh yang bagus, yaitu penyalahgunaan minuman keras.
Di negeri barat sana yang memiliki empat musim, tentu mengalami musim dingin yang suhunya mencapai minus nol derajat. Untuk itu, mereka membutuhkan sesuatu untuk menjaga tubuh mereka agar tetap hangat di suhu sedingin itu. Minuman seperti whisky dan vodka dapat membantu mereka karena menimbulkan efek hangat bagi tubuh peminumnya.
Namun, Indonesia terletak tepat dibawah garis khatulistiwa. Itu artinya, Indonesia hanya memiliki dua musim, yaitu musim kemarau dan musim penghujan. Minuman keras seperti whisky dan vodka tidak diperlukan di negara kita. Sebab, bila masih tetap dikonsumsi, akan menimbulkan efek yang berbeda. Mabuk. Namun, mungkin para peminum minuman keras itu salah mengartikan budaya asing tersebut. Mereka beranggapan bahwa dengan meminum minuman tersebut, mereka akan dianggap gaul oleh orang-orang sekitarnya karena mampu menyamai orang bule.
Menurutku, pikiran-pikiran seperti itu masih mengakar kuat dalam benak orang Indonesia karena pada jaman penjajahan dulu, kita telah didoktrin bahwa orang kulit putih memiliki derajat yang lebih tinggi dibanding orang yang memiliki kulit berwarna. Doktrin yang berbau rasisme ini berlaku hampir diseluruh belahan dunia. Bahkan dulu, di benua Afrika sana, orang putih memiliki kekuasaan dominan di negeri yang mayoritas warganya berkulit gelap.
Suara ponsel Si Dosen mengakhiri kuliah hari itu, karena waktunya memang telah habis.
                                                            *          *          *
Saat melangkah keluar kelas menuju kantin, tiba-tiba tanganku ditarik keras sekali oleh Nyit-nyit.
“ Phan, ikut gue cepetan!” ucapnya tergesa-gesa sambil membawaku ke suatu tempat.
“ mu kemana sih, Nyit? Gue kan laper…”
“ udah ikut aja dulu!” sahutnya singkat.
Aku masih merasa sangat penasaran, tapi aku tahan mulutku sebisa mungkin untuk tidak bertanya apa-apa sampai kami tiba di tempat yang kami tuju.
Nyit-nyit ternyata membawaku ke sebuah kelas di Gedung C kampus kami, dan ternyata di kelas itu pun telah ada teman-temanku yang lain. Mereka berenam sedang menanti kedatanganku.
“ ada apa sih ini?” tanyaku heran.
“ kita mau ngebahas sesuatu…” sahut Dian diiringi anggukan kepala yang lainnya.
Aku jadi merasa semakin penasaran. “ iya apa?”
Kali ini Een yang berbicara, “ tadi, gue sama Qinan kan minjem hapenya si Arya. Terus, gue ngeliat ada foto toketnya Santi sama foto pantatnya Wiwi di hapenya dia!”
what?!” tanyaku setengah tak percaya. Aku lebih merasakan kecewa daripada terkejut. Tega-teganya kawan sekelas kami berbuat begitu.
Sedikit penjelasan, Santi adalah kawan kami yang lain, tidak termasuk dalam kami berdelapan.
“ iya,” sekarang giliran Qinan yang menjelaskan. “ gue hafal banget kaosnya Santi itu. Jadi gambarnya diambil dari jauh terus di-zoom gitu Phan…” terangnya, membuatku semakin merasa shock. “ terus kalo Wiwi…” dia melirik ke arah Wiwi yang duduk diam di sudut kelas, “ gue hafal tas polkadotnya. Si Arya motret pantatnya Wiwi…”
Aku memandang Wiwi yang terlihat sangat terpukul. Ini sudah termasuk tindakan kriminal. Pelecehan seksual. Hal ini tidak dapat dibiarkan. Saat itu juga aku langsung pergi mencari Arya. Teman-temanku mengekor dibelakang.
Kami menemukan Arya sedang tertawa-tawa di kantin. Langsung saja kuseret dia keluar kantin, lalu kami berdelapan pun mengerubunginya. Setelah menyita ponselnya, kami lalu menginterogasi dia, tetapi dia tidak mau mengakui kalau itu adalah perbuatannya, walaupun jelas-jelas foto-foto itu ada didalam ponselnya.
Kami tidak mau membuat kegaduhan di tempat umum dengan memaksa dia untuk mengakui perbuatannya, karena itu, kami pun memutuskan untuk menghapus foto-foto itu, mengembalikan ponselnya, lalu segera beranjak dari sana dengan perasaan dongkol.
                                                            *          *          *
Dalam bus kota saat perjalanan pulang ke rumah setelah kejadian itu, aku berpikir. Betapa kemajuan teknologi telah membawa banyak sekali perubahan pada dunia ini. Sayangnya, tidak hanya membawa perubahan yang baik, tetapi juga membawa dampak buruk.
Aku merasa semakin kecewa pada orang-orang yang menyalahgunakan perkembangan teknologi. Mengapa ada segelintir orang-orang tertentu yang tidak menggunakan teknologi untuk tujuan yang baik? Padahal, teknologi telah membuka mata kita untuk melihat dunia yang semakin hari semakin berkembang, lebih jauh. Teknologi telah membawa kita mengelilingi dunia hanya dalam waktu beberapa menit saja. Teknologi juga telah membantu kita melintasi jarak, ruang, dan waktu.
Mungkin memang harus begitulah adanya, efek dari segala sesuatu yang terjadi di dunia ini. Segalanya memiliki dua sisi. Ada siang, ada malam. Kutub utara dan kutub selatan. Positif dan negatif. Segala sesuatu yang terjadi pun memiliki dua dampak, yaitu dampak baik dan dampak buruk. Semuanya bergantung pada siapa, apa, dan bagaimana cara penggunaannya.
Aku jadi kembali teringat pada adik-adikku, Doni dan Tika. Mereka mungkin adalah korban dari kemajuan teknologi yang tak terkendali. Bahkan mungkin, tanpa kusadari, aku juga sudah menjadi korban dari pesatnya kemajuan dunia teknologi.
Lamunanku dibuyarkan oleh seorang pengamen cilik berusia sekitar delapan tahun yang meminta uang padaku. Tubuhnya kotor sekali. Telinganya ber-piercing, dan tanpa sengaja kulihat ada sebatang rokok terselip disana. Dia menatap aneh kearahku. Menelitiku dari atas sampai bawah.
Tatapannya lalu berhenti di celana jeans kumal plus sobek-sobek milikku. “ Rock N Roll, Neng!” celetuknya.
Ya Tuhan!
                                                            *          *          *

Keterangan     
engklek            : permainan daerah. Cara memainkannya adalah dengan melompat-lompat dalam kotak-kotak yang sudah digambat di tanah.
Tamagochi       : sejenis mainan digital dimana kita memelihara hewan virtual yang ada didalamnya.
Toket               : buah dada
Hape                : ponsel
Piercing           : tindikkan

No comments:

Post a Comment