Friday, September 14, 2012

Hutang yang tak (sempat) terpenuhi



Janji wajib untuk ditepati. Apapun halangan dan rintangan yang harus dihadapi, janji tetap harus dipenuhi. Karena janji adalah hutang, dan pemenuhan akan janji merupakan sebuah tanggung jawab yang akan ditentukan hisabnya. Sebelum semua terlampau terlambat.
                                                                        ***
            “Pelacur!!!” teriak Bu Satrio kepada perempuan bertubuh molek yang terduduk mematung di sudut ruangan seluas 4x5 meter itu. Tubuhnya hanya tertutupi sehelai kain tipis yang biasa digunakan sebagai pembungkus kasur. Tak ada sepatah kata pun yang keluar dari bibir bergincu itu sebagai pembelaan.
Bu Satrio lantas menyeret tubuhnya ke sisi lain ruangan dengan gemas, memaki dengan kata-kata yang menusuk hati si perempuan amat dalam. Di sudut lain, Pak Satrio hanya dapat menyaksikan adegan-adegan penuh kekerasan tersebut tanpa melakukan suatu apapun. Seolah beliau tengah menyaksikan drama televisi yang menyuguhkan kisah tragedi memilukan tanpa akhir.
Tangan kiri Bu Satrio menggenggam erat sejumput rambut si perempuan dengan amat ketat. Tak diijinkannya si perempuan beranjak dari tempat itu sebelum dia selesai memuaskan nafsu amarahnya, “Jauh-jauh dari suami saya, perempuan jalang! Mau apa kamu mengganggu dia lagi? Kamu tidak kasihan melihat anak-anak kami di rumah, heh?”, dihempaskannya tubuh tak berdaya itu sekuat tenaga ke dinding ruangan yang keras dan dingin.
“Sudah, Bu…”
“Diam kamu!”, jerit Bu Satrio tanpa tertahankan, “jangan pernah sekalipun membela pelacur itu dihadapanku!” Pak Satrio mengkerut ditengah ranjang. Sama telanjangnya dengan si perempuan.
Dengan segenap sisa tenaga yang telah terkuras habis oleh belenggu tak kasat mata di ruangan itu, si perempuan beringsut menjauh dari pertengkaran suami-istri tersebut sambil menggenggam dua potong pakaian dan tas Gucci made in Gedebage miliknya.
                                                            ***
Arloji Anne Klein seharga dua puluh lima ribu rupiah yang melingkar dipergelangan tangannya, menunjukkan pukul satu dini hari saat ia tiba di sebuah tempat yang ia sebut rumah. Ranti, anak semata wayangnya, terbangun saat mendengar suara pintu dibuka. Dengan sukacita, Ranti menyambut kedatangan sang ibu yang diharapnya pulang dengan membawa uang untuk membayar biaya masuk kolam renang esok hari. Kali besok, Ranti harus mengikuti tes berenang, yang selama ini tak pernah ia hadiri, untuk memenuhi nilai UAS olahraganya. Dua bulan lagi, Ranti akan lulus SMP.
“Maaf Nak, Ibu hari ini tidak bawa uang,” ucap sang Ibu sambil mencoba menyunggingkan senyuman termanis yang sanggup ia berikan malam itu, berusaha menghibur si anak meskipun tubuhnya sendiri berdenyut-denyut ngilu akibat hantaman gagang sapu bertubi-tubi oleh istri salah satu pelanggannya.
Senyum diwajah kuyu Ranti pun lenyap seketika. Pupus sudah harapan mendapat nilai bagus untuk ujian olahraganya, padahal ia sangat menyukai mata pelajaran itu. Terbayang kembali janji sang ibu tadi siang untuk memberinya uang sebesar dua puluh ribu rupiah, ongkos masuk kolam renang. Dengan langkah gontai, ia kembali meneruskan tidurnya diatas dipan beralaskan kasur setebal 2 cm.
Satu-satunya kursi di rumah itu yang terbuat dari kayu asal-paku, kini berpenghuni. Kepulan asap rokok kretek memenuhi ruangan serba guna itu. Satu ruangan yang berfungsi sebagai ruang tamu, ruang keluarga, ruang makan, sekaligus dapur.
Tatapannya tak lagi tampak hidup. Dihisapnya kembali sebatang rokok pemberian kawan seprofesinya tadi siang itu, perlahan. Otaknya dipenuhi memori kisah-kisah pemukulan yang kerap kali menimpa perempuan-perempuan yang memilih untuk bekerja seperti dirinya.
Pada hisapan terakhir rokok itu, seketika dia merasa ada lubang hitam menhisapnya masuk. Ia jadi gelap mata. Seolah tak ada jalan keluar lain yang dapat dipilihnya. Tatapannya tertuju pada sebilah pisau dapur yang teronggok di atas meja. Pikirannya melayang pada janji-janji yang ingin sekali dipenuhinya pada sang buah hati. Janji membelikannya tas sekolah yang baru untuk menggantikan miliknya yang sudah tidak bisa ditutup karena retsletingnya macet, janji untuk mengajaknya jalan-jalan ke Taman Lalu Lintas, janji membelikan bando berwarna biru, warna favoritnya, dan segudang janji-janji lainnya yang hingga saat ini belum terpenuhi.
Uang. Lagi-lagi itu menjadi masalah yang membelitnya selama tiga puluh empat tahun kehidupannya. Terlahir dari rahim seorang buruh cuci yang hamil karena diperkosa mantan majikannya sendiri, tidaklah menjadi pilihan yang benar-benar ia inginkan. Dibesarkan dilingkungan rumah-rumah tempat berbuat mesum, membuat pilhan hidupnya semakin sempit. Semakin mendekatkannya pada ketidakwarasan dunia yang penuh materi. Wajahnya yang lumayan, tubuhnya yang padat berisi, membuat para lelaki hidung belang menggodanya dengan pundit-pundi rupiah yang hanya memberikan kebahagiaan sesaat.
Masa muda dihabiskannya dengan berfoya-foya. Membalaskan dendam masa kecil yang penuh kesengsaraan. Hingga akhirnya pada usia dua puluh tahun, seorang dari ratusan pria yang pernah mengencaninya, mengisi ruang dalam rahimnya dengan Ranti. Tak kuasa untuk membunuh si jabang bayi, ia pun memutuskan untuk memeliharanya. Berharap sang bayi kelak dapat membawanya keluar dari lubang nista yang selama ini ia tinggali.
Diraihnya pisau tersebut. Setelah dipandangi selama sepuluh menit, ia pun membulatkan tekad. Dihampirinya Ranti yang sedang tertidur lelap, lalu diguncangnya perlahan.
“Ranti…” panggilnya penuh sayang.
Ranti pun menggeliat lalu menoleh ke arah ibunya. Mengucek-ngucek mata untuk mengusir sedikit kantuk, “ada apa, bu?”
“Ibu pergi dulu sebentar. Cari uang buat bayar renang kamu. Tapi ibu mau kamu janji satu hal…”
Senyuman tipis seketika tercipta diwajah kecil Ranti. Dengan penuh harapan, ia pun bangkit untuk mendengarkan ibunya dengan lebih jelas.
“Ibu pengen kamu diam dirumah sampai ibu pulang, ngerti?” Ranti pun mengangguk-angguk dengan semangat.
“Ya sudah, sekarang kamu tidur lagi sana! Ingat ya, jangan kemana-mana sampai ibu kembali!”

Sebuah mobil sedan buatan jepang tahun 1980-an berhenti dihadapannya. Setelah tercapai kesepakatan harga antar kedua belah pihak, ia dan pelanggan barunya itu pun menuju suatu tempat yang cukup sepi. Si perempuan tidak keberatan untuk melayaninya didalam mobil saja.
Namun sebelum si lelaki sempat memuaskan birahinya, si perempuan mengeluarkan pisau dapur yang sedari tadi tersimpan dalam tas Gucci-nya. Dihujamkannya besi tipis itu ke dada si lelaki berkali-kali, hingga si lelaki tidak menunjukan tanda kehidupan. Dengan kepanikan yang luar biasa, ia mencari-cari dompet si lelaki.dibalik celana yang tersampir di jok depan mobil tersebut. Dibukanya dompet itu, lalu ia pun tersenyum puas melihat lembaran-lembaran biru yang terselip didalamnya. Kini ia bisa membelikan Ranti tas baru, bando berwarna biru, dan mengajaknya ke Taman Lalu Lintas. Satu hal terpenting dalam benaknya saat itu, Ranti akhirnya bisa mengikuti ujian renang disekolahnya siang nanti.
Dengan semangat yang membuncah didada, si perempuan segera kembali ke peraduannya dengan langkah cepat. Tak dipedulikannya lecet yang diakibatkan sepatu murahan itu ditumitnya. Senyuman Ranti membayang dimatanya sejelas mentari yang hampir terbangun dari tidurnya selama kurang lebih sepuluh jam.
Tiba-tiba langkahnya terhenti saat melihat kepulan asap hitam yang menggumpal dihadapannya. Kekhawatiran menyergap dirinya diantara sosok-sosok panik yang berlarian menghambur kepadanya dari segala arah. Pikirannya hanya tertuju pada satu hal. Ranti.
Insting keibuan memaksa ia mempercepat langkah kakinya menuju sumber kepulan asap itu. Tiga rumah di kompleks pemukiman padat dan kumuh itu telah habis dilalap api. Saat ia berusaha menerobos kerumunan orang yang sedang berusaha memadamkan geliat-geliat merah-kuning yang kian menjalar itu, seseorang tiba-tiba menarik-narik lengannya cukup keras, hingga berhasil membuatnya berhenti sejenak dan menoleh.
“Bu Janji, Bu Janji! Rumah kita, Bu…” seru Bu Yanti, tetangga sebelah rumahnya, dengan gusar.
“Kenapa Bu? Ranti mana?” sahutnya panik sambil menoleh kanan-kiri. Mencari sosok kecil buah hatinya. 
“Rumah kita sudah habis terbakar, Bu… Tidak ada lagi yang tersisa…” sahut Bu Yanti diiringi derai air mata. Ia pun hanya sempat menyelamatkan dua anaknya yang masih kecil-kecil tanpa harta benda apapun selain baju yang melekat dibadan.
“Ranti?” Tanya Bu Janji setengah berbisik, karena tak sanggup lagi mendengar hal terburuk yang ingin diketahuinya.
Bu Yanti pun menggeleng lemah. Ranti telah menepati janjinya.

                                    *                      *                      *
                                                                                    Bandung, 29/01/09 23:59

No comments:

Post a Comment