Janji
wajib untuk ditepati. Apapun halangan dan rintangan yang harus dihadapi, janji tetap
harus dipenuhi. Karena janji adalah hutang, dan pemenuhan akan janji merupakan
sebuah tanggung jawab yang akan ditentukan hisabnya. Sebelum semua terlampau
terlambat.
***
“Pelacur!!!” teriak Bu Satrio kepada
perempuan bertubuh molek yang terduduk mematung di sudut ruangan seluas 4x5
meter itu. Tubuhnya hanya tertutupi sehelai kain tipis yang biasa digunakan
sebagai pembungkus kasur. Tak ada sepatah kata pun yang keluar dari bibir
bergincu itu sebagai pembelaan.
Bu
Satrio lantas menyeret tubuhnya ke sisi lain ruangan dengan gemas, memaki
dengan kata-kata yang menusuk hati si perempuan amat dalam. Di sudut lain, Pak
Satrio hanya dapat menyaksikan adegan-adegan penuh kekerasan tersebut tanpa
melakukan suatu apapun. Seolah beliau tengah menyaksikan drama televisi yang
menyuguhkan kisah tragedi memilukan tanpa akhir.
Tangan
kiri Bu Satrio menggenggam erat sejumput rambut si perempuan dengan amat ketat.
Tak diijinkannya si perempuan beranjak dari tempat itu sebelum dia selesai
memuaskan nafsu amarahnya, “Jauh-jauh dari suami saya, perempuan jalang! Mau
apa kamu mengganggu dia lagi? Kamu tidak kasihan melihat anak-anak kami di
rumah, heh?”, dihempaskannya tubuh tak berdaya itu sekuat tenaga ke dinding
ruangan yang keras dan dingin.
“Sudah,
Bu…”
“Diam
kamu!”, jerit Bu Satrio tanpa tertahankan, “jangan pernah sekalipun membela
pelacur itu dihadapanku!” Pak Satrio mengkerut ditengah ranjang. Sama telanjangnya
dengan si perempuan.
Dengan
segenap sisa tenaga yang telah terkuras habis oleh belenggu tak kasat mata di ruangan
itu, si perempuan beringsut menjauh dari pertengkaran suami-istri tersebut
sambil menggenggam dua potong pakaian dan tas Gucci made in Gedebage miliknya.
***
Arloji
Anne Klein seharga dua puluh lima
ribu rupiah yang melingkar dipergelangan tangannya, menunjukkan pukul satu dini
hari saat ia tiba di sebuah tempat yang ia sebut rumah. Ranti, anak semata
wayangnya, terbangun saat mendengar suara pintu dibuka. Dengan sukacita, Ranti
menyambut kedatangan sang ibu yang diharapnya pulang dengan membawa uang untuk
membayar biaya masuk kolam renang esok hari. Kali besok, Ranti harus mengikuti
tes berenang, yang selama ini tak pernah ia hadiri, untuk memenuhi nilai UAS
olahraganya. Dua bulan lagi, Ranti akan lulus SMP.
“Maaf
Nak, Ibu hari ini tidak bawa uang,” ucap sang Ibu sambil mencoba menyunggingkan
senyuman termanis yang sanggup ia berikan malam itu, berusaha menghibur si anak
meskipun tubuhnya sendiri berdenyut-denyut ngilu akibat hantaman gagang sapu
bertubi-tubi oleh istri salah satu pelanggannya.
Senyum
diwajah kuyu Ranti pun lenyap seketika. Pupus sudah harapan mendapat nilai
bagus untuk ujian olahraganya, padahal ia sangat menyukai mata pelajaran itu.
Terbayang kembali janji sang ibu tadi siang untuk memberinya uang sebesar dua
puluh ribu rupiah, ongkos masuk kolam renang. Dengan langkah gontai, ia kembali
meneruskan tidurnya diatas dipan beralaskan kasur setebal 2 cm.
Satu-satunya
kursi di rumah itu yang terbuat dari kayu asal-paku, kini berpenghuni. Kepulan
asap rokok kretek memenuhi ruangan serba guna itu. Satu ruangan yang berfungsi
sebagai ruang tamu, ruang keluarga, ruang makan, sekaligus dapur.
Tatapannya
tak lagi tampak hidup. Dihisapnya kembali sebatang rokok pemberian kawan
seprofesinya tadi siang itu, perlahan. Otaknya dipenuhi memori kisah-kisah
pemukulan yang kerap kali menimpa perempuan-perempuan yang memilih untuk
bekerja seperti dirinya.
Pada
hisapan terakhir rokok itu, seketika dia merasa ada lubang hitam menhisapnya
masuk. Ia jadi gelap mata. Seolah tak ada jalan keluar lain yang dapat
dipilihnya. Tatapannya tertuju pada sebilah pisau dapur yang teronggok di atas
meja. Pikirannya melayang pada janji-janji yang ingin sekali dipenuhinya pada
sang buah hati. Janji membelikannya tas sekolah yang baru untuk menggantikan
miliknya yang sudah tidak bisa ditutup karena retsletingnya macet, janji untuk
mengajaknya jalan-jalan ke Taman Lalu Lintas, janji membelikan bando berwarna
biru, warna favoritnya, dan segudang janji-janji lainnya yang hingga saat ini
belum terpenuhi.
Uang.
Lagi-lagi itu menjadi masalah yang membelitnya selama tiga puluh empat tahun kehidupannya.
Terlahir dari rahim seorang buruh cuci yang hamil karena diperkosa mantan
majikannya sendiri, tidaklah menjadi pilihan yang benar-benar ia inginkan.
Dibesarkan dilingkungan rumah-rumah tempat berbuat mesum, membuat pilhan
hidupnya semakin sempit. Semakin mendekatkannya pada ketidakwarasan dunia yang
penuh materi. Wajahnya yang lumayan, tubuhnya yang padat berisi, membuat para
lelaki hidung belang menggodanya dengan pundit-pundi rupiah yang hanya
memberikan kebahagiaan sesaat.
Masa
muda dihabiskannya dengan berfoya-foya. Membalaskan dendam masa kecil yang penuh
kesengsaraan. Hingga akhirnya pada usia dua puluh tahun, seorang dari ratusan
pria yang pernah mengencaninya, mengisi ruang dalam rahimnya dengan Ranti. Tak
kuasa untuk membunuh si jabang bayi, ia pun memutuskan untuk memeliharanya.
Berharap sang bayi kelak dapat membawanya keluar dari lubang nista yang selama
ini ia tinggali.
Diraihnya
pisau tersebut. Setelah dipandangi selama sepuluh menit, ia pun membulatkan
tekad. Dihampirinya Ranti yang sedang tertidur lelap, lalu diguncangnya
perlahan.
“Ranti…”
panggilnya penuh sayang.
Ranti
pun menggeliat lalu menoleh ke arah ibunya. Mengucek-ngucek mata untuk mengusir
sedikit kantuk, “ada apa, bu?”
“Ibu
pergi dulu sebentar. Cari uang buat bayar renang kamu. Tapi ibu mau kamu janji
satu hal…”
Senyuman
tipis seketika tercipta diwajah kecil Ranti. Dengan penuh harapan, ia pun
bangkit untuk mendengarkan ibunya dengan lebih jelas.
“Ibu
pengen kamu diam dirumah sampai ibu pulang, ngerti?” Ranti pun
mengangguk-angguk dengan semangat.
“Ya
sudah, sekarang kamu tidur lagi sana !
Ingat ya, jangan kemana-mana sampai ibu kembali!”
Sebuah
mobil sedan buatan jepang tahun 1980-an berhenti dihadapannya. Setelah tercapai
kesepakatan harga antar kedua belah pihak, ia dan pelanggan barunya itu pun
menuju suatu tempat yang cukup sepi. Si perempuan tidak keberatan untuk
melayaninya didalam mobil saja.
Namun
sebelum si lelaki sempat memuaskan birahinya, si perempuan mengeluarkan pisau
dapur yang sedari tadi tersimpan dalam tas Gucci-nya. Dihujamkannya besi tipis
itu ke dada si lelaki berkali-kali, hingga si lelaki tidak menunjukan tanda
kehidupan. Dengan kepanikan yang luar biasa, ia mencari-cari dompet si
lelaki.dibalik celana yang tersampir di jok depan mobil tersebut. Dibukanya
dompet itu, lalu ia pun tersenyum puas melihat lembaran-lembaran biru yang terselip
didalamnya. Kini ia bisa membelikan Ranti tas baru, bando berwarna biru, dan
mengajaknya ke Taman Lalu Lintas. Satu hal terpenting dalam benaknya saat itu,
Ranti akhirnya bisa mengikuti ujian renang disekolahnya siang nanti.
Dengan
semangat yang membuncah didada, si perempuan segera kembali ke peraduannya
dengan langkah cepat. Tak dipedulikannya lecet yang diakibatkan sepatu murahan
itu ditumitnya. Senyuman Ranti membayang dimatanya sejelas mentari yang hampir
terbangun dari tidurnya selama kurang lebih sepuluh jam.
Tiba-tiba
langkahnya terhenti saat melihat kepulan asap hitam yang menggumpal
dihadapannya. Kekhawatiran menyergap dirinya diantara sosok-sosok panik yang
berlarian menghambur kepadanya dari segala arah. Pikirannya hanya tertuju pada
satu hal. Ranti.
Insting
keibuan memaksa ia mempercepat langkah kakinya menuju sumber kepulan asap itu.
Tiga rumah di kompleks pemukiman padat dan kumuh itu telah habis dilalap api.
Saat ia berusaha menerobos kerumunan orang yang sedang berusaha memadamkan geliat-geliat
merah-kuning yang kian menjalar itu, seseorang tiba-tiba menarik-narik
lengannya cukup keras, hingga berhasil membuatnya berhenti sejenak dan menoleh.
“Bu
Janji, Bu Janji! Rumah kita, Bu…” seru Bu Yanti, tetangga sebelah rumahnya,
dengan gusar.
“Kenapa
Bu? Ranti mana?” sahutnya panik sambil menoleh kanan-kiri. Mencari sosok kecil
buah hatinya.
“Rumah
kita sudah habis terbakar, Bu… Tidak ada lagi yang tersisa…” sahut Bu Yanti
diiringi derai air mata. Ia pun hanya sempat menyelamatkan dua anaknya yang
masih kecil-kecil tanpa harta benda apapun selain baju yang melekat dibadan.
“Ranti?”
Tanya Bu Janji setengah berbisik, karena tak sanggup lagi mendengar hal
terburuk yang ingin diketahuinya.
Bu
Yanti pun menggeleng lemah. Ranti telah menepati janjinya.
* * *
No comments:
Post a Comment